jpnn.com, ”Toleransi Telah Jadi
Filosofi Kehidupan Orang Papua”, 2024.
jpnn.com - Di Papua, kerukunan antar umat beragama terbukti kuat dan solid.
Keberagaman agama dan kepercayaan tradisional selalu ditandai dengan sikap
toleransi, saling menghormati dan menghargai keyakinan satu sama lain sehingga
hidup berdampingan dalam damai dan harmoni.
Menurut tokoh muda Papua, Jan Cristhian Arebo, para pemuda
memiliki peran aktif dan sangat besar dalam menjaga kerukunan antar umat
beragama di Papua.
Mereka bersama para pemimpin agama sering kali menjadi agen
perubahan dalam mempromosikan dialog, toleransi, dan penghargaan terhadap
keragaman agama sehingga dapat membangun jembatan antara berbagai kelompok
agama dan memperkuat ikatan sosial yang positif.
“Kerukunan antar umat beragama di Papua menjadi alat untuk
mempererat persatuan bangsa dalam bingkai NKRI,” kata Arebo.
Wujud toleransi umat beragama di Papua misalnya pada saat
pembangunan tempat ibadah, saling membantu dalam membangun masjid dan gereja.
Papua memiliki budaya toleransi yang kuat, salah satunya
tradisi Bakar Batu dari Suku Dani. Juga menjadi media untuk mendamaikan kedua
belah pihak yang bertikai.
Oleh karena itu, Ketua PWNU Papua Toni Wanggai menyatakan
bahwa tradisi beragama menjaga toleransi dan harmonisasi telah menjadi filosofi
kehidupan orang Papua. Tradisi satu tungku tiga batu, telah menajdi praktik
kehidupan sehari-hari. Adat dan agama tidak bertentangan bahkan saling
melengkapi, sehingga telah menjadi kekayaan utama.
Oleh karena itulah, Papua dikenal tanah damai dan telah dibuktikan adanya
deklarasi Papua tanah damai oleh para tokoh setempat.
Atas dasar deklarasi itu, setiap tanggal 5 Februari
diperingati hari seluruh agama-agama.
"Inilah kenapa kerusuhan Ambon dan Poso tidak merembet
ke Papua, yang menunjukkan komitmen orang papua menjaga kedamaian dan
menebarkan kasih sayang," kata dia.
Ia juga menegaskan bahwa adat dan agama di Papua saling
terkait erat dan melengkapi.
Masyarakat Papua berhasil menyeimbangkan nilai-nilai adat
mereka dengan keyakinan agama mereka, sementara yang lain mungkin memilih untuk
memprioritaskan salah satu di atas yang lain.
Antropolog, Prof Dr. M Ikhsan Tanggok menyatakan bahwa adat
dan agama masih bisa kompromi, bisa beradaptasi untuk dipraktekkan seperti
halnya di Indonesia.
Seperti bakar batu yang dulunya bakar daging babi, dapat
diganti dengan daging hewan lainnya seperti ayam, kambing dan lain-lain.
Ada kelompok tertentu yang tidak mau mencaur baur antara
adat dan agama, tapi tidak terlalu banyak. Jadi, masyarakat meski beragama
namun tidak dapat meninggalkan adatnya. Agama tanpa adat juga sulit
diterjemahkand dan dibumikan.
“Situasi harmoni saat bulan Ramadhan dan menjelang Idul
Fitri di tanah Papua diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat dunia bagaimana
wilayah mayoritas Kristen bisa menghargai kelompok minoritas di dalamnya. Tidak
ada lagi kasus kedepan yang dapat merusak citra Papua sebagai wilayah yang
harmonis,” ujar dia pada Webinar Tradisi Ramadhan di Papua: Memperkuat
Toleransi dan Harmonisasi, Rabu (3/4).
Hal sama disampaikan peneliti BRIN, Dr. Mohammad Fathi
Royyani, bahwa harmonisasi, toleran dan menghargai keberagaman adalah urat nadi
dan genetis bagi orang Papua. Hal tersebut menambah keindahan lanskap Papua
secara keseluruhan, tidak saja indah alamnya, tapi lanskap budaya, agama dan
sosial juga indah.