indonesia.go.id, “Pura Meru dan Kerukunan Beragama di Lombok”,
2022.
Penamaan Pura Meru sebagai singkatan dari Semeru, gunung
tertinggi di Jawa Timur. Di luar pura, terdapat Masjid Nurul Falah yang berdiri
pada masa raja terakhir Kerajaan Karangasem Mataram, Anak Agung Anglurah Gede
Ngurah Karangasem, yang dikenal toleran dan menjaga keberagaman.
Lombok, pulau terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB)
menyimpan kekayaan budaya masa lalu yang masih terjaga dengan baik. Pura Meru
Cakranegara adalah salah satunya. Tempat peribadatan umat Hindu itu adanya di
Mataram, ibu kota provinsi berjuluk Bumi Gora tersebut.
Lokasinya di Jl Selaparang, Kelurahan Cakranegara Timur,
Kecamatan Cakranegara, Kabupaten Lombok Barat. Posisinya hanya sekitar 200
meter di seberang Taman Mayura, sebuah tempat wisata berbentuk kolam raksasa
seluas hampir tiga hektare.
Kompleks peribadatan berukuran panjang 174 meter dan lebar
51 meter atau seluas 8.874 meter persegi ini adalah pura terbesar di Pulau
Seribu Masjid. Pura dengan gerbang masuk utama bernama Kori Agung setinggi
delapan meter terbuat dari bata merah ini, selain sebagai tempat peribadatan,
juga menjadi objek wisata religius.
Tempat itu dapat ditempuh selama 40 menit berkendara dari
Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid, Praya. Atau sekira satu jam
dari destinasi pariwisata superprioritas The Mandalika di Lombok Tengah.
Pura Meru merupakan bangunan cagar budaya nasional yang
ditetapkan pada 26 Februari 2007 lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional nomor PM.19/PW.007/MKP/2007. Pura dan Taman Mayura menjadi
saksi bisu masa kejayaan Kerajaan Karangasem Bali yang pernah menguasai Lombok.
Pura Meru dibangun pada 1720 oleh I Gusti Anglurah Made Karangasem, wakil
Kerajaan Karangasem Bali di Lombok.
Bangunan ini dibuat untuk tempat persembahyangan masyarakat
Hindu dari kerajaan-kerajaan kecil di seputar Mataram yang berhasil ditaklukkan
oleh Kerajaan Karangasem. Dalam Babad Lombok disebutkan, Agama Hindu masuk ke
Lombok pada 1691 ketika seluruh penduduknya yang merupakan suku Sasak, masih
menganut Islam.
Pura ini dinamai Meru sebagai singkatan dari Semeru, gunung
tertinggi di Jawa Timur dan dianggap suci oleh Kerajaan Singosari yang menjadi
leluhur I Gusti Nglurah Made Karangasem. Bangunan pura juga didedikasikan untuk
tiga dewa utama umat Hindu, Brahma, Siwa, dan Wisnu dalam bentuk tiga meru atau
menara bersusun.
Menara ini berbentuk limas dengan atap tumpang atau bersusun
dan akan semakin mengecil di bagian puncaknya. Model atapnya merupakan
simbolisasi tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos) dan bhuana alit (alam kecil atau
mikrokosmos), dari bawah ke atas.
Meru Siwa memiliki ukuran lebih tinggi dibandingkan dua meru
lainnya. Berdiri di atas pondasi bata setinggi 3 meter dengan ukuran 5 meter x
5 meter, Meru Siwa menjulang setinggi 18,26 meter, beratap ijuk dan bersusun 11
lapis. Ia diapit oleh Meru Brahma dan Wisnu yang beratap genting dengan tinggi
bangunan lebih pendek, sekitar 15 meter dan bersusun sembilan.
Seperti halnya Meru Siwa, pondasi kedua meru ini setinggi 3
meter dengan ukuran 4,3 meter x 4,3 meter. Ketiga meru tersebut juga mewakili
tiga gunung yang dianggap suci oleh pemeluk Hindu. Meru Brahma mewakili Gunung
Agung di Bali, Siwa mewakili Gunung Rinjani di Lombok, dan Wisnu diwakili oleh
Gunung Semeru di Jawa Timur.
Ketiga meru tersebut juga memiliki arti simbol warna yang
bermakna. Pada perayaan piodalan (acara untuk mengingat lahir
kembalinya pura), setiap meru akan dihiasi dengan kain yang disesuaikan dengan
warna yang berbeda. Meru Brahma akan dihiasi dengan warna merah yang berarti
api, simbol kematian umat Hindu yang dikremasi menggunakan api.
Meru Siwa menggunakan kain berwarna putih yang merupakan
simbol air untuk mensucikan abu hasil kremasi sebelum dibuang ke laut.
Sedangkan Meru Wisnu akan dihiasi dengan kain hitam yang melambangkan kegelapan
atau kehidupan baru setelah kematian. Meru-meru ini terdapat di halaman jero
pura atau disebut juga sebagai utama mandala, satu dari empat bagian
dari Pura Meru Cakranegara yang ditandai dengan adanya halaman-halaman luas.
Bagian lainnya adalah madya mandala, nista mandala, dan legar mandala.
Setiap bagian tadi diberi pembatas tembok bata merah tanpa
plester setinggi 3-4 meter dengan ketebalan mencapai 80 sentimeter. Tiap bagian
pada pura dihubungkan dengan pintu bergapura (gelung kori) dan arca raksasa (pemedal
alit) pada tengah-tengah tembok pembatas. Pintu-pintu serupa dengan ukuran
lebih kecil juga dibuat pada sisi utara-selatan dari tembok pembatas. Termasuk
di bagian depan pura, tak jauh dari Kori Agung, sebagai jalur masuk-keluar umat
dan turis.
Halaman utama mandala berukuran 42,5 meter x 42,5
meter dan menjadi inti dari Pura Meru Cakranegara. Selain tiga menara, terdapat
pula bale dan padmasaran untuk para pemimpin upacara
persembahyangan.
Ada juga 29 pondokan mini tiang enam berkelir putih dengan
atap ijuk yang berderet dari utara ke selatan di sepanjang dinding pembatas
Utama Mandala. Pondokan mini ini dikenal sebagai sanggar, melambangkan 29
banjar di sekitar pura yang ikut membantu pembangunannya di masa lampau. Ketika
upacara Pujawali atau Usadha, umat dari 29 banjar akan menghias sanggar
mereka di Pura Meru ini.
Di bagian madya
mandala yang berukuran sama dengan utama mandala, terdapat bale
petandakan dan bale gong.
Beberapa pohon cempaka dan kamboja ukuran besar ikut menghijaukan madya
mandala ini.
Nista mandala serta lengar mandala posisinya seolah
bersatu karena tidak ada tembok pembatas. Kori Agung terletak di lengar mandala dan menjadi
penghubung antara madya mandala dan utama mandala. Pura Meru dapat menampung
hingga 5.000 umat Hindu di Lombok dan menjadi pusat persembahyangan saat
ritual-ritual keagamaan seperti Pujawali, Galungan, dan Kuningan.
Uniknya, di sisi selatan terdapat bangunan Masjid Nurul
Falah dengan dua menaranya yang menyembul di antara rimbunan pepohonan sekitar
pura. Sebuah jalan kampung berdasar cone
block selebar dua meter menjadi pemisah antara masjid dan pura.
Masjid yang kini dibangun ulang berlantai dua itu sudah ada
sejak masa raja terakhir Kerajaan Karangasem Mataram, Anak Agung Anglurah Gede
Ngurah Karangasem yang memerintah antara 1870-1894. Ia dikenal sebagai pemimpin
yang toleran dan menjaga keberagaman. Anak Agung Anglurah Gede Ngurah
Karangasem beristrikan perempuan Muslim Sasak, Dinda Aminah yang kemudian
berganti nama menjadi Nawangsasih.
Hal itu disebutkan juga oleh JP Freijss, Sekretaris Serikat
Misi Internal dan Eksternal di Batavia dalam bukunya Reizen naar Mangarai en Lombok in 1854-1856 yang terbit di
Amsterdam, Belanda, pada Januari 1860. Masjid tersebut diperuntukkan bagi
Nawangsasih dan umat Islam di sekitar Pura Meru Cakranegara dan menjadi simbol
kerukunan beragama di daerah itu sejak ratusan tahun lampau.