bbc.com/indonesia, “Saling bunuh,
saling bakar sampai... ’sayang kamu semua’: Mantan tentara anak Islam dan
Kristen Ambon ", (2018).
Ratusan anak Islam dan Kristen diperkirakan
terlibat dalam konflik paling berdarah Indonesia - Ambon- yang pecah pada 1999,
terseret dalam arus kesadisan dan kebengisan perang.
Membunuh dengan berbagai senjata, parang sampai senjata api
rakitan, membakar, mengebom, "tanpa rasa (bersalah) apa-apa" sebagai
"mesin pembunuh", merupakan bagian hidup sehari-hari sebagian
anak-anak berusia antara sembilan sampai belasan tahun saat itu, selama
bertahun-tahun.
Kebencian membara atas nama agama - Islam, Kristen- membuat
hidup mereka terkepung di lokasi konflik, dengan hanya satu tujuan
"membunuh sebanyak-banyaknya lawan iman."
Pusaran konflik yang begitu dalam membawa mereka hanya pada
dua pilihan: Dibunuh atau membunuh.
Dua di antara mereka, Ronald Regang dan Iskandar Slameth,
menceritakan perjalanan mereka, berada di garis depan saat konflik dan
perjuangan berat menepis bara kebencian dan trauma mengingat orang-orang yang
mereka bunuh dan kawan yang telah meninggal.
Keduanya pernah membunuh dengan alasan membela agama dan
komunitas masing-masing.
Keduanya pernah disulut kebencian luar biasa satu sama lain,
sampai kemudian bertemu di satu ruangan, beberapa tahun setelah konflik mereda,
dan menjadi sahabat.
Ronald Regang: "Seandainya waktu
bisa diputar"
"Seandainya saya bisa mengembalikan mereka punya nyawa…
orang yang pernah saya bunuh… kawan-kawan yang meninggal, seandainya waktu bisa
diputar kembali," kata Ronald satu malam di Ambon.
Ia tak berusaha menahan air matanya. Ia hanya mengusapnya.
"Kepala saya sakit," katanya beberapa kali
menunjuk kepala bagian belakang saat bercerita tentang aksinya berada di garis
depan dalam kerusuhan berdarah itu.
"Yang paling membuat saya trauma itu... orang-orang
yang pernah saya bunuh, wajah-wajah mereka itu ada dalam tidur dan mimpi
saya... Wajah mereka begitu kental dalam ingatan saya," katanya merunduk.
Pada awal tahun 2000, usianya baru menginjak 10 tahun. Namun
ia telah dihadapkan dalam "kondisi membunuh atau dibunuh untuk bisa
bertahan hidup."
Ronald tiba di pelabuhan di Teluk Ambon di akhir 1999,
hampir satu tahun setelah konflik pecah pada 19 Januari 1999.
Saat itu konflik telah menyebar ke Ternate, tempat
tinggalnya bersama orang tua serta kakak dan adik. Mereka sempat terpisah saat
ibu dan adiknya mengungsi ke Manado terlebih dahulu dan kemudian ke Ambon.
Ronald menyusul belakangan.
Kapal minyak yang tiba di pelabuhan khusus Kristen saat itu,
langsung dirazia untuk "mencari orang Muslim."
"Yang paling saya ingat, tak ada orang di sepanjang
jalan yang ada hanya kita, pasukan khusus, isi di dalam rumah-rumah dikeluarkan
di jalan-jalan dibakar," cerita Ronald mengingat kejadian hampir 20 tahun
lalu itu.
Mayat-mayat ditumpuk… di kiri kanan, semuanya mayat.
Sepanjang jalan bau amis, ada yang dibakar, ada yang membengkak, sepanjang
jalan," tambahnya.
Seorang sepupu mengenalinya di pelabuhan dan langsung
mengajaknya untuk bergabung bersama anak-anak lain yang malam itu "tengah
mewarnai wajah mereka"
"Saya tak bisa kemana-mana lagi dan masuk ke medan
pertempuran!"
Iskandar Slameth: "Mengungsi
dibantu pela (saudara) Kristen"
Idul Fitri, 19 Januari 1999. Seorang pemuka masyarakat di
salah satu permukiman Muslim Ambon, dipanah hingga tewas.
Kepanikan terjadi di tengah perayaan lebaran saat itu.
"Siapkan senjata apa adanya, kita harus mempertahankan
diri," cerita Iskandar mengulang perintah ayahnya saat itu kepada
anak-anak lakinya. Iskandar berusia 13 tahun.
Merasa tak aman di ibu kota Maluku itu, ayah Iskandar
memutuskan untuk kembali ke kampung, Hitu, yang terhitung menjadi basis bagi
komunitas Muslim.
Namun perjalanan dengan mobil selama sekitar satu jam ini
penuh risiko karena harus melewati "kurang lebih 60% sampai 70% daerah
orang Kristen," cerita Iskandar. Tak ada polisi atau militer yang mau
mendampingi mereka.
Jalan-jalan dirintangi palang, menandai pemisahan wilayah
Kristen dan Muslim.
"Saat melewati kawasan Kristen, pela mama di depan dan
mereka bilang ini saudara saya… saat melewati wilayah Muslim, pela mama berada
di belakang," tambahnya mengacu pada Pela Gandong, ikatan tali
persaudaraan yang dibuat dengan satu upacara dengan mereka yang sebenarnya
tidak memiliki pertalian darah.
"Berkat dia (pela Kristen) kita bisa sampai ke
kampung."
"Saudara-saudara menyambut dengan Allahuakbar, karena
mereka mengira kami sudah meninggal di Ambon," tambahnya.
Membunuh atau dibunuh
Namun beberapa bulan di kampung, Iskandar kembali ke Ambon -
tersulut emosi- setelah mendengar kakaknya terkena bom dan "hancur
kakinya".
Di sinilah, ia pertama kali membunuh, setelah ada orang yang
menembaknya namun meleset.
"Saya membunuh atau dibunuh… ada abang teriak… lihat di
belakangmu ada musuh. Parang masih di tangan… Saya emosi luar biasa karena
ditembak. Sakit biar tak tembus tapi sakit. Dia mau potong saya, saya
potong," cerita Iskandar.
Badannya penuh darah orang yang ditusuknya. Kejadian ini
sempat membuatnya trauma.
"Saya mandi hingga bersih, salat sunah menenangkan
diri… Kebayang terus, waktu dia berdarah…"
“Perasaan saya seperti apa ya… tapi itu pilihan, saya
membunuh atau saya dibunuh," katanya menahan emosi.
Perjalanan selanjutnya selalu dengan bom dan senjata.
"Darah saya mendidih... Saya dididik dengar bom dan
senjata tiap hari. Saya juga sudah bunuh orang," tambahnya.
"Kita cukup sadis, (ada wilayah) yang kita bantai dalam
satu hari."
Ia tergabung dalam Pasukan Jihad, sebutan untuk pasukan
Muslim di Ambon. Saat konflik itu, katanya, terdapat dua kelompok lain, Laskar
Jihad- yang datang dari luar Maluku- serta Mujahidin, kelompok dari luar
Indonesia yang menempa ideologi mereka yang bertempur.
Saling menaruh dendam berat
"Selama perang terjadi, ada yang bersikap tenang, ada
yang sangat emosional dan ingin membunuh.... Saya sendiri masuk dengan dendam,
yang cukup kuat. Karena bukan kakak kandung saya saja yang kena bom. Saudara
sepupu ditembak mati di tempat, sepupu dari ibu dipotong juga. Kalau bicara
dendam, saudara saya banyak yang mati," kata Iskandar lagi.
Ronald memiliki sikap serupa. Tak lama setelah terlibat
langsung di konflik, ia menjadi komandan Pasukan Agas, sebutan untuk tentara
anak Kristen, memimpin lebih dari 20 anak-anak yang jadi milisi.
"Saat pertama kali membunuh, tak ada rasa apa-apa,
karena saat itu dalam pikiran saya dan keluarga saya di kampung sudah dibantai
dan saya ingin balas. Dan dalam diri saya, saat masuk perang dan membunuh orang
tak ada rasa apa-apa," cerita Ronald.
"Sebelum masuk ke medan pertempuran, kita selalu
melakukan doa. Karena anggapan kita saat itu adalah ini adalah perang suci,
kita membela agama dan membela tempat tinggal kita," kata Ronald.
"Kita selalu awali dengan doa dan itu di gereja. Semua
kumpul di gereja: kita membagi kawan-kawan, ada tim pembakar, tim pembom, tim
penembak dan tim pemotong kita bagi-bagi untuk masuk (berbagai) daerah."
Sekitar 5.000 orang meninggal dan lebih setengah juta
mengungsi dalam konflik sektarian dengan pusat di Ambon dan menyebar ke
sebagian besar kepulauan Maluku.
Saat konflik mulai mereda, sejak perjanjian Malino yang
dicapai pada 2002, para mantan tentara anak Ambon ini masih terkungkung bara
dendam, dihantui orang-orang yang mereka bunuh, terbelut dalam trauma dan
guncangan jiwa mendalam, menurut pendeta serta ustad pendamping mereka.
Ronald mengatakan ia baru berhenti memanggul senjata pada
2004, tahun saat ia didatangi Jacky Manuputty, pendeta yang diminta mencari
anak-anak korban konflik di Indonesia oleh badan kanak-kanak PBB UNICEF untuk
dipertemukan di Yogyakarta.
Bakar kebencian
Perjalanan ke luar Maluku ini mengawali perubahan Ronald.
"Ronald kecil saat itu melihat ada dunia lain, ada
gedung-gedung tinggi," katanya tersenyum dengan mata berbinar.
"Dari situ saya mulai berubah, saya bertemu dengan
beberapa orang, termasuk psikolog dari Jakarta. Sebelumnya, kalau keluar dari
Maluku, hanya sebatas Manado dan itupun saat mengungsi."
Ia mulai mengikuti berbagai kegiatan melalui Lembaga Antar
Iman, yang dibentuk pendeta Jacky dan ustad Abidin Wakano.
Sementara Iskandar mengatakan ia terjebak dalam dunia gelap
lainnya, narkoba.
"Perjalanan kita hanya di daerah Muslim, stres… tak
bebas. Kita jalan situ lagi-situ lagi. Bisa ke sebelah, tapi ada rasa takut,
saya dibunuh nggak?
"Onal hanya bilang kita paling
sayang kamu semua"
Keengganan dan rasa takut untuk bertemu dengan warga Kristen
membuat Iskandar terlambat untuk hadir ke salah satu acara perdamaian, Young
Ambassador for Peace, pada 2006.
"Saat tahu mereka dari jihad mini, kami sudah hampir
bunuh-bunuhan," kata Ronald mengacu pada kelompok Iskandar.
"Kami kumpul dengan teman Muslim dan menyusun strategi
kalau terjadi apa-apa," pungkas Iskandar dalam wawancara terpisah.
Selama lebih satu minggu mereka berada di penginapan dan
baru pada hari ketiga kondisi mulai cair, pungkasnya.
"Kita tulis rasa benci, rasa dendam (di atas kertas)…
Saya tulis saya paling benci sama Kristen, karena kakak saya hancur kakinya,
sepupu saya mati. Lalu saya bakar semua (tulisan itu)," cerita Iskandar
penuh emosi.
Ronald mengungkap kebencian yang sama. "Saya katakan
kalau orang Muslim itu jahat, membunuh kita punya orang."
"Padahal kawan Muslim juga menceritakan hal yang sama.
Kita bercerita isu orang Kristen kaya gini…. Lo kok isunya sama… kita sama-sama
tak ada yang tahu."
Pertemuan ini menjadi titik balik berikutnya bagi kedua
putra Maluku ini.
"Onal (Ronald) yang membuat kita semua benar-benar
nangis…. Suasana hening, ada lilin," cerita Iskandar.
"Onal tak banyak bicara… Onal hanya bisa bangkit dan
bilang… Dia bilang kita paling sayang kamu semua," tambahnya.
"Lebur sudah… nangis semua. Kita semua basudara
(bersaudara)," kata Iskandar lagi. Lengannya merangkul mengingat pertemuan
mereka sekitar 12 tahun lalu.
"Semua peluk erat, mulai hari ini sampai di mana pun
kita saudara. Kamu mau pergi ke mana, bilang, beta akan di depan kamu,"
kenangnya.
"Saya merasa plong"
"Kita selama ini berperang, tapi kita tak tahu perang
ini akan ke mana. Selama ini kita hanya melihat orang dengan mata sebelah.
Kalau dengan mata dua atau ada dengan komunikasi, pasti tak ada kerusuhan atau
kita tak saling bunuh," kata Ronald lagi.
Sejak pertemuan itu mereka saling mengundang untuk
bertandang ke daerah masing-masing.
"Pas saya menginjakkan kaki di daerah Kristen, saya
merasa plong. Ini namanya bebas. Balik ke rumah dalam keadaan baik-baik,"
kata Iskandar.
"Kita berkomitmen untuk jadi duta damai diri sendiri
dan orang-orang di samping kita."
"Kita keluar dari situ dengan penuh kesenangan. Satu
kampung Kristen misalnya… yang dulu habis dalam satu hari... Mereka punya
dendam terhadap saya… Namun saya ke sana pergi makan ikan bakar
ramai-ramai."