historia.co.id, “Berabad Riwayat Umat Kristen di Cianjur ", (2015).
Berdampingan hidup dengan kaum Muslim secara bersama, mereka
menerapkan toleransi sejak abad ke-18.
GUNUNG Halu, Cianjur, 25 Desember 2015. Suara lonceng yang
berdentang dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon tiba-tiba berhenti di
tengah hari itu. Sebagai gantinya, dari berbagai arah kampung tersebut
berkumandanglah suara adzan. Situasi di hari Natal itu terkesan memang kontras,
tapi bagi warga wilayah Gunung Halu hal tersebut memang sudah biasa. “Sengaja
genta gereja kami hentikan, supaya saudara-saudara Muslim kami bisa fokus
menjalankan shalat Jumat,” ujar Yudi Setiawan (43), koster (pembantu) di GKP Palalangon.
Tak banyak orang tahu, di Kabupaten Cianjur terdapat sebuah
komunitas Kristiani. Keberadaan mereka bahkan sudah berlangsung ratusan tahun
dan setidaknya menurut Yudi, hingga kini sudah mencapai generasi ke-5. Lantas
bagaimana ceritanya agama Kristen bisa berkembang di kota yang kerap disebut
sebagai gudang pesantren tersebut?
Menurut Dadan (73), salah satu sesepuh Cianjur, kedatangan
agama Kristen ke Cianjur terkait dengan tibanya serombongan pedagang Portugis
ke kota tersebut di era Dalem Aria Wiratanu Il (1691-1707). Sebagai bentuk
penghargaan dan toleransi, Dalem Wiratanu II lantas mempersilakan para tamunya
untuk tinggal di satu wilayah dekat pinggiran Sungai Citarum. “ Sekarang
namanya jadi kawasan Gunung Halu, kampungnya orang- orang Nasrani (Kristen) di
Cianjur,”ujar Dadan yang mengaku mendapat cerita tersebut dari kakeknya.
Tetapi cerita Dadan berbeda dengan versi resmi pihak GKP
Palalangon. Disebutkan Yudi, keberadaan orang-orang Kristen di wilayah Cianjur
bermula dari adanya permintaan pemerintah Hindia Belanda kepada Bupati Cianjur
Raden Prawiradireja Il (1862-1910) pada 1901. Mereka meminta bupati Cianjur
ke-10 itu, menyediakan lahan yang masih kosong untuk komunitas Kristen pribumi
yang ada dalam bimbingan NZV (Nederlandsche Zendings Vereeniging), sebuah
pekabaran misi Injil dari Belanda.
Gempa Besar bagi Bupati
Cianjur
Sebagai catatan, orang-orang Sunda yang memutuskan untuk
memeluk agama Kristen saat itu mengalami situasi yang sangat memprihatinkan.
Selain mengalami intimidasi, penganiayaan dan bahkan pembunuhan, mereka pun tak
diakui oleh keluarganya masing-masing. “Saat itu orang-orang Sunda
mengidentikan Kristen sebagai agama orang Belanda. Jadi sangat dimengerti jika
keberadaan mereka tak diterima oleh keluarga besarnya masing-masing,” ujar
Raistiwar Pratama, peneliti dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang
pernah melakukan riset mengenai komunitas Kristen Sunda itu.
Setelah berhasil mengumpulkan 7 pengikut Kristen pribumi,
salah seorang anggota NZV bernama B.M. Alkema kemudian menghadap Bupati Cianjur
dan meminta sang bupati memberi petunjuk kira-kira lahan mana di Cianjur yang
bisa mereka tempati. Bupati Raden Prawiradireja Il lantas memberi wewenang
kepada salah seorang wedananya yang bernama Sabri.
Sabri kemudian mengajak B.M. Alkema dengan ketujuh
pengikutnya bergerak ke arah timur Cianjur. Mereka menyusuri aliran sungai
Cisokan dan kemudian aliran sungai Citarum. Saat mendekati kawasan yang disebut
sebagai Leuwi Kuya (Lubuk Kura-Kura), tiba-tiba salah seorang dari rombongan
itu terperosok masuk ke sebuah jurang. Untunglah ia masih bisa diselamatkan.
Usai menolong kawannya yang terperosok itu, rombongan tidak
berbalik lagi ke tempat asal. Mereka justru menaiki bagian lain dari tebing
tersebut dan menemukan sebuah hutan belantara yang tanahnya agak datar. Alkema
merasa cocok dengan kawasan itu. Setelah memeriksa beberapa sudut di kawasan
itu, ia kemudian menancapkan tongkatnya di salah satu tempat tersebut dan
berikrar: “Di tempat inilah saya tetapkan sebagai tempat pemukiman bagi
orang-orang Kristen Sunda...”
Begitu selesai pembabatan hutan,
dibuatlah beberapa pemukiman sederhana di kawasan itu. Ketujuh orang Kristen
Sunda itu kemudian menjemput keluarganya masing-masing untuk tinggal di sana.
Guna memenuhi kebutuhan ibadah kebaktian, dibangunlah sebuah "gereja
darurat" yang terbuat dari bahan dasar "eurih" alias ilalang.
Kebaktian pertama sendiri terjadi pada 17 Agustus 1 902 dan secara resmi para
anggota jemaat memberi nama kampung tersebut dengan istilah Sunda
palalangon" yang artinya "menara".
Kendati menganut Kristen, tidak
serta merta menjadikan mereka sebagai masyarakat yang eksklusif. Aliha-alih
berjarak, dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949) keberpihakan orang-orang
Kristiani Palalangon kepada pihak republik nampak nyata. Itu dibuktikan dengan
pernah dijadikannya Palalangon sebagai markas oleh sebuah kesatuan tentara
republik. " Kesatuan itu dipimpin oleh Sersan Kentjong, komandan
saya," ujar Atma (85), salah seorang mantan petarung republik di Cianjur.
Menurut Wijaya,
salah seorang peneliti sejarah, di era Perang Kemerdekaan, orang-orang Kristen
Palalangon pun mendapatjaminan perlindungan dari Lasykar Hizbullah. Bahkan saat
pertama kali mendirikan Lasykar Hizbullah Ciranjang pada 3 Februari 1946, orangorang
Kristen Palalangon pimpinan Pendeta Empi menyumbangkan dua ekor kuda tunggangan
dan seperangkat mesin tik untuk staf administrasi lasykar kaum Muslim tersebut.
"Barang-barang yang disumbangkan kaum Kristiani
Palalangon itu bermanfaat besar bagi mobilitas dan penyelesaian soal-soal
administrasi kesatuan Lasykar Hizbullah cabang Ciranjang tersebut," tulis
Wijaya dalam Lasykar Hizbullah: AntaraJihad dan Nasionalisme Mempertahankan
Kemerdekaan RI (1945-1949).