DESCRIPTION

Sejak peningkatan status stasi menjadi paroki tahun 2000 hingga terbitnya PBM tahun 2006, pendekatan kepada masyarakat terus dilakukan sebelum benar-benar dilaksanakan pembangunan gereja. Selama proses itu, terjadi dua kali tekanan kepada pihak Paroki. Pertama, tahun 2001 ketika Gereja hendak mendirikan Gedung Serba Guna, dan telah memiliki IMB untuk itu, namun digagalkan oleh aksi massa Ikatan Remaja Masjid (Irmas) parung. Kedua, pada tahun 2005. Saat itu, pihak paroki dianggap membiayai salah satu calon kandidat Kepala Desa Waru yang kemudian berhasil memenangkan pemilihan kepala desa dan menjabatnya hingga sekarang. Sekitar 10 orang warga (dari lawan kandidat pemenang Pilkades) mendatangi pihak gereja dengan marah-marah dan menuduh gereja mengeluarkan dana 80 juta untuk pemenangan kandidat lawan mereka. Pihak paroki sendiri membantah telah membiayai dan bahkan tidak mengeluarkan dana sepeser pun untuk salah satu kandidat. Disahkannya PBM tentang rumah ibadah membuat pihak paroki memperoleh semangat baru untuk segera merealisasikan pembangunan gereja. Bagi mereka, PBM memberi kepastian aturan main sehingga terukur secara hukum. Karena itu, pada akhir 2006 hingga awal 2007 pihak Paroki mengurus perlengkapan administratif berupa dukungan tanda tangan dari jemaat maupun penduduk sekitar yang beragama non-Katolik. Saat itu dengan mudah pihak Paroki mendapatkan dukungan 225 tanda tangan dari warga sekitar. Tanggal 1 Februari secara resmi gereja mengajukan Izin Mendirikan Bangunan kepada Bupati Bogor. Karena tidak ada respons hingga 90 hari (sesuai pasal 16 ayat 2 PBM), tanggal 1 September pihak gereja melayangkan surat susulan untuk mengingatkan pihak Bupati. Pada 22 Maret 2008, sore hari menjelang perayaan Paskah, ratusan massa yang menamakan Forum Komunikasi Remaja Muslim “Jamiul Fataa” melakukan aksi “damai” dan menuntut pihak gereja menghentikan kegiatan mereka. Aksi itu diikuti oleh sekitar 10 orang dewasa, dan selebihnya adalah anak-anak setingkat SMP-SMA. Meskipun mereka menyebut aksi ini sebagai aksi damai, namun mereka memaksa masuk sampai ke halaman paroki dan memaksa pihak gereja membongkar tenda sewaan yang disiapkan untuk acara Paskah malam harinya. Bahkan mereka mengancam akan bertindak anarkis dan siap mati bila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Perwakilan dari pendemo itu (H. Umar, Asep, Surip; bukan nama sebenarnya) kemudian meminta dialog dan masuk ke lokasi gereja. Mereka menyodorkan surat pernyataan yang telah mereka siapkan. Pihak gereja dipaksa untuk menandatangani surat yang berisi bahwa Gereja menyetujui pembongkaran tenda, peniadaan segala bentuk peribadatan di Tulang Kuning, dan penghentian segala bentuk upaya perizinan pembangunan gereja. Akhirnya pihak gereja mengalah dan membongkar tenda tersebut, serta menggagalkan rencana kegiatan Paskah pada malam hari itu, namun tidak bersedia menandatangani surat pernyataan tersebut. H. Umar tidak puas dengan penolakan penandatanganan, dan berbalik ke massa aksi hendak mengajak massa untuk bertindak anarkis. Namun massa berhasil diredam oleh Satpol PP Kec. Parung dan menyatakan bahwa surat pernyataan tersebut akan dibawa ke FKUB Bogor. Pihak gereja kemudian mengarahkan jemaatnya untuk merayakan Paskah di gereja-gereja Katolik lain yang terdekat. Pada 19 Juli 2010, pihak gereja melanjutkan pengurusan IMB dengan mengajukan permohonan IPPT sesuai dengan permintaan pihak Pemkab. Namun menurut narasumber hingga kini belum ada tanggapan dari pihak Pemkab. Tim peneliti sendiri menemukan dalam arsip Departemen Agama Kabupaten Bogor dua surat terkait permohonan IMB St. Yohanes Baptista Parung. Pada dasarnya relasi antara pihak gereja dengan pihak pemerintah secara umum bagus. Hubungan personal ketua RT 01, ketua RW 06, Kapolsek, Danramil, kepala desa bisa dibilang tidak ada masalah. Yang agak sedikit bermasalah adalah Camat Parung saat ini yang nampak tidak suportif, meskipun dua camat sebelum periode sekarang sangat suportif dan melindungi. Misalnya, ketika pihak gereja mengirimkan surat pemberitahuan pelaksanaan ibadah Natal pada Desember 2008, Camat tersebut menanggapinya dan menyatakan bahwa pada dasarnya Camat tidak berwenang memberikan rekomendasi terhadap rencana kegiatan pelaksanaan Natal, karena kegiatan pembangunan gereja belum memiliki IMB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, di luar hubungan personal di atas, hambatan administratif pengurusan IMB justru datang dari para aparatus negara tersebut. Ada ketua RT dan ketua RW yang tidak mau menandatangani dukungan warga terhadap pembangunan gereja. Akibatnya, kepala desa juga tidak bersedia menandatangani lampiran dukungan tersebut sebelum tanda tangan RT dan RW diperoleh. Camat Parung periode 2007 yang sangat suportif juga merasa soal pengesahan bukan wewenangnya melainkan wewenang Bupati langsung. Karena itu, surat pengajuan IMB pada 1 Februari 2007 diserahkan tanpa tanda tangan Ketua RT, Ketua RW, dan Kepala Desa sebagai pihak yang mengetahui. Pihak gereja lalu mengomunikasikan hal tersebut dengan pihak Pemkab Bogor (Kesbanglinmas dan Dinas Tata Ruang & Lingkungan Hidup). Tanggal 22 Februari Pihak Kesbanglinmas dan Dinas Tata Ruang & Lingkungan Hidup menurunkan petugasnya ke lapangan untuk memverifikasi tanda tangan dukungan warga tersebut dan memperoleh kesimpulan kesesuaian dan validitas tanda tangan dukungan. Verifikasi pihak Kesbanglinmas saat itu bahkan dilakukan bersama dengan ketua RT setempat. Namun, seperti disebut sebelumnya, hingga 90 hari respons dari Pemkab tidak diberikan kepada pihak gereja. Pada 13 September, Dinas Cipta Karya Pemkab Bogor menerbitkan surat untuk merespons surat paroki 1 September. Surat dari Dinas Cipta Karya tersebut meminta kepada pihak gereja untuk melengkapi lebih lanjut persyaratan administratif untuk pengajuan IMB. Surat tersebut juga menyebutkan adanya dua surat penolakan dari DPC MUI Kecamatan Par ung mengenai Penolakan Pembangunan Gereja Katolik Paroki Santo Johannes Baptista Parung. Salah satu persyaratan yang diminta tersebut adalah adanya rekomendasi dari FKUB Kabupaten Bogor. FKUB sendiri terbentuk baru bulan Agustus 2007, beberapa bulan setelah pengajuan awal IMB dilayangkan. Tanggal 14 Oktober 2008, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemkab Bogor juga menerbitkan surat respon kepda pihak gereja yang meminta pihak gereja untuk melengkapi permohonannya dengan rekomendasi dari FKUB. Baru pada 5 Mei 2010, FKUB menerbitkan surat untuk merepons permohonan IMB pihak gereja. Surat tersebut berisi tiga hal. Pertama, tidak merekomendasikan pembangunan gereja Johannes Baptista Parung. Kedua, meminta pihak gereja untuk menghentikan seluruh kegiatannya di lokasi Tulang Kuning. Ketiga, meminta bupati untuk menindaklanjutinya. Menanggapi keputusan FKUB tersebut, pihak paroki menerbitkan surat somasi kepada Bupati yang menyatakan bahwa surat FKUB tersebut cacat hukum, karena dua alasan. Pertama, FKUB melampaui kewenangannya. Kedua, ada persoalan tentang mekanisme pengambilan keputusan di dalam FKUB, karena perwakilan Katolik di FKUB saat itu menyatakan menolak rumusan surat FKUB. Di samping itu, pihak paroki juga mengajukan perlindungan hukum dan perlindungan fisik terhadap keberadaan dan pelaksanaan kegiatan mereka. Pihak gereja mengaku sempat ada dua kali dialog dengan pihak FKUB. Pertemuan pertama difasilitasi oleh Kesbanglinmas, berupa sharing masing-masing pihak. Pertemuan kedua dilakukan antara pihak FKUB langsung dengan pihak paroki, tanggal 8 Mei 2010, tiga hari setelah FKUB mengeluarkan surat rekomendasi. Bagi pihak gereja, dua pertemuan itu tidak ada pengaruhnya karena FKUB juga tidak menganggap pertemuan itu sebagai dialog untuk mencari solusi. Menanggapi somasi tersebut, pihak Pemkab mengutus Satpol PP untuk turun ke lapangan dan mengecek keberadaan paroki. Satpol PP menyimpulkan bahwa tidak ada masalah antara pihak gereja dengan warga sekitar, dan menyarankan kepada pihak gereja untuk melanjutkan pengurusan IMB. Di luar aparatus pemerintahan itu, pihak paroki menganggap tidak ada masalah sama sekali dengan pihak Kapolsek, Danramil, serta Dandim. Ketiga lembaga tersebut bekerja sesuai proporsinya dan bersikap netral terhadap permasalahan yang menimpa paroki. Menurut pihak paroki, satu-satunya tokoh masyarakat yang berperan penting sebagai pihak penentang keberadaan gereja adalah salah satu pengurus MUI Kecamatan Parung, H. Umar. Di samping menerbitkan surat penolakan resmi atas nama MUI pada tahun 2007, tokoh inilah yang disinyalir berada di balik aksi massa yang berhasil menggagalkan perayaan Paskah pada tahun 2008. Aksi massa itu sendiri didominasi oleh massa anak-anak yang berasal dari sekolah di bawah yayasan yang dimiliki oleh H. Umar. Yayasan pendidikan tersebut berada di Desa Waru Jaya, tetangga desa dari lokasi gereja. H. Umar sendiri juga turut serta dalam memimpin aksi massa tersebut, meskipun atas nama Remaja Muslim. Alasan resmi penolakan MUI adalah bahwa sudah banyak gereja di wilayah kecamatan Parung. Pihak gereja memberikan klarifikasi dan menjelaskan kepada pihak Kesbanglinmas bahwa gereja-gereja yang dimaksud MUI adalah gereja Protestan. Tidak ada satu pun gereja Katolik di tujuh kecamatan yang menjadi wilayah Paroki Johannes Baptista. Menurut pihak gereja, ada kemungkinan juga penolakan penandatanganan oleh ketua RT, ketua RW, dan Kepala Desa Waru dipengaruhi oleh sikap pengurus MUI tersebut, langsung ataupun tidak langsung. Seperti disebutkan di atas, pendekatan dan sosialisasi pihak gereja dengan warga sekitar bisa dibilang cukup berhasil. Pihak gereja menyediakan lapangan kerja bagi warga sekitar karena parkir kendaraan dikelola oleh anak-anak muda sekitar lokasi. Di samping itu, hubungan dengan para tukang ojek di sekitar lokasi juga sangat baik. Relasi positif dengan warga ini diakui oleh beberapa warga yang ditemui tim peneliti. Menurut Gito dan Iing, umat Konghucu yang tinggal tidak jauh dari lokasi gereja, keberadaan gereja sama sekali tidak mengganggu. Bahkan, kehadiran gereja tersebut membawa rezeki bagi warga RT 01 yang menjadi pedagang atau tukang parkir. Tidak adanya permasalahan antara gereja dengan warga juga dikemukakan oleh Tony, jemaat Pantekosta yang tinggal sekitar 100 meter dari lokasi gereja, dan Amir, santri senior Panti Asuhan Islam, yang berada sekitar 300 meter dari gereja. Meskipun panti asuhan tersebut tidak pernah berurusan langsung dengan dukungan atau penolakan, namun bagi Amir sepanjang tidak mengganggu, sah saja umat Katolik mendirikan gereja. Dari pengurus RT atau RW, dukungan juga dikemukakan oleh Joko, ketua RW 06 yang berada sekitar 200 meter dari gereja. Ia menceritakan bahwa ketika Yayang, ketua RT 01, ingin melakukan konsultasi apakah harus mengesahkan kopi tanda tangan dukungan warga, ia meminta Yayang untuk memberikan persetujuannya. Bagi Joko, ketua RT dan RW tidak punya alasan untuk tidak mencantumkan tanda tangan jika warganya memang sudah menyetujui. Joko sendiri menyarankan kepada pihak gereja untuk mencari dukungan yang lebih luas karena kelompok penolak memakai alasan bahwa umat Katolik di Desa Waru tidak cukup banyak dibanding umat agama lain. Secara khusus, pihak gereja menanggapi secara kritis PBM 2006. Bagi mereka, sebenarnya PBM lebih memberi kepastian pengurusan rumah ibadah, namun karena tidak ada pengawalan dari aparat negara terhadap pelaksanaan regulasi tersebut, di lapangan PBM justru mempersulit pendirian gereja. Khusus mengenai FKUB, dengan format proporsi yang timpang, yakni dari 17 anggota, 12 di antaranya muslim, sisanya satu perwakilan dari tiap agama, maka fungsi FKUB tidak sesuai dengan namanya. Alihalih merukunkan umat beragama, FKUB justru menghambat kerukunan umat beragama. Catatan berikutnya, saat ini pihak Paroki menunggu respons pengajuan IPPT dan sedang mempertimbangkan langkah-langkah penyelesaian masalah perizinan ini ke pengadilan. Paroki sendiri sudah membentuk Tim Advokasi untuk melangkah lebih jauh, mengingat sudah terlalu lama mereka beribadah di bawah tenda, dan berlarut-larutnya masalah perizinan tersebut.

META DATA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Dalam kasus ini CRCS mencatat bahwa sampai saat buku ini diterbitkan, masalah ini belum juga mampu di selesaikan. Permasalahan yang dihadapi St. Johannes Baptista utamanya disebabkan oleh ketidakkonsistenan aparat pemerintah dalam menegakkan peraturan. Hal ini ditunjukkan dengan tetap tidak ditanggapinya perizinan gereja meskipun tandatangan warga telah diverifikasi dan dibuktikan keasliannya. Lebih lanjut, FKUB juga merupakan aktor penentang yang sangat berperan. Faktor representasi agama ditengarai berperan dalam keluarnya surat penentangan FKUB. Selanjutnya, MUI Parung terlibat melalui figur H. Umar yang mengatasnamakan warga sekitar. Dari hal-hal tersebut, terlihat bahwa faktor utama sulitnya pembangunan gereja Parung adalah resistensi dari organisasi keagamaan, termasuk FKUB bentukan pemerintah. Sementara di sisi lain, pemerintah belum melaksanakan tugas pengayomannya secara maksimal.
Bentuk Solusi
Selesai
Status KBB
Menghambat KBB
Data
Tautan
file:///C:/Users/wscfa/Downloads/156Ok%20Monograf%20Jakarta%20(2).pdf
Komunitas Terdampak
Gereja Katolik St. Johannes Baptista