DESKRIPSI PERISTIWA

Pada tanggal 19 Agustus 2006, panitia mengundang aparat terkait untuk peletakan batu pertama. Peletakan batu pertama dihadiri oleh Lurah, Camat, Danramil, Kapolsek, Kakandepag, Bimas Kristen, Assisten Daerah I, dan tokoh-tokoh masyarakat. Namun, dengan berbagai alasan tak jelas, IMB GKI Taman Yasmin kemudian dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor pada 14 Februari 2008. Pembekuan menyebabkan gereja tidak dapat melanjutkan pembangunannya. Ibadah jemaat pun terhalangi untuk beribadah. Pembekuan masih terus terjadi, meskipun pihak gereja telah mengajukan dan memenangkan perkara tersebut di PTUN Bandung. Ironis! Sebenarnya, pembekuan tersebut bermula dari Lurah Curug Mekar. Pada akhir 2006, Lurah Curug Mekar meminta penghentian pembangunan gereja karena beberapa hal. Pertama, pembangunan gereja tersebut menjelang kedatangan George W. Bush; dikhawatirkan hanya akan menjadi pelampiasan pihak-pihak yang tidak suka kepada Bush. Kedua, saat itu bertepatan dengan tabligh akbar Aa’ Gym; dikhawatirkan pembangunan gereja menjadi sasaran jemaah yang tidak terkendali. Atas berbagai pertimbangan, panitia menuruti permintaan tersebut dengan menunda pembangunan gereja. Usai kedua peristiwa tersebut, panitia melanjutkan pembangunan. Sejak itulah protes kelompok penentang mulai bermunculan. Bukan hanya sekadar protes, aksi massa juga menekan pemerintah kota Bogor untuk mencabut IMB pembangunan gereja. Atas desakan kelompok penentang ini, Pemkot Bogor, pada 14 Februari 2008, membekukan IMB gereja. Panitia kemudian mendatangi walikota untuk mempertanyakan keputusan tersebut. Menurut salah seorang panitia GKI Yasmin, perwakilan Pemkot beralasan bahwa pembekuan dilakukan untuk menenangkan massa. Mereka berkilah, suatu saat akan “cair” kembali. GKI Taman Yasmin kemudian melakukan perlawanan hukum ke PTUN Bandung. GKI menggugat Pemkot Bogor. Putusan PTUN Bandung nomor 41/G/2008/PTUN-BDG, Sept 2008, menyatakan “Dalam Eksepsi: Menolak eksepsi Tergugat (Pemkot). Dalam Pokok Sengketa: (1) mengabulkan gugatan para Penggugat (GKI) untuk seluruhnya; (2) Menyatakan batal Surat Pembekuan IMB; (3) Memerintahkan kepada tergugat (Pemkot) utk mencabut Surat Pembekuan IMB; dan (4) Menghukum Tergugat membayar biaya perkara”. Pemkot Bogor menyatakan banding ke PTTUN, namun PTTUN Jakarta memberi putusan sebagai berikut: “Mengadili: menguatkan putusan PTUN Bandung Nomor 41/G/2008/PTUN.BDG.” Artinya, Pemkot Bogor tetap harus membatalkan pembekuan IMB. Pemkot tetap ngotot membekukan IMB dan mengajukan permohonan kasasi pada September 2009. Atas permohonan itu, PTUN Bandung mengeluarkan Surat bertanggal 11 Juni 2009, nomor W2.TUN2/ 696/HK.06/VI/2009, yang menyatakan bahwa karena objek gugatan (surat pembekuan IMB) berlaku di wilayah administrasi yang terbatas, maka “perkara tersebut tidak memenuhi syarat formal untuk diajukan kasasi … sehingga tidak diteruskan pemeriksaannya ke tingkat kasasi.” Dengan begitu, putusan atas gugatan ini telah “berkekuatan hukum tetap”. Menanggapi putusan pengadilan, Pemkot abai, dengan tetap menyegel gereja tersebut. Polisi pun tidak suportif. Berdalih melindungi jemaat dari Forkami, forum yang dibentuk untuk menolak gereja, polisi memperketat penjagaan pada kebaktian kedua. Selain mengerahkan personil lebih banyak, sejumlah mobil polisi sengaja diparkir di trotoar tempat kebaktian berlangsung. Akibatnya, jemaat justru beribadah di celah mobil-mobil tersebut. Pada kebaktian tersebut, Kapolresta Bogor maju ke depan podium dan meminta jemaat menghentikan kebaktian. Selain itu, kekecewaan lain adalah polisi membiarkan tindakan perusakan bangunan gereja dan penganiayaan penasehat hukum gereja, H. Ujang Sujai, seorang Nahdliyin. Ironisnya, seorang pengurus gereja yang aktif memperjuangkan GKI justru diproses secara kriminal oleh polisi. Atas dua hal tersebut, Komnas HAM dua kali menyurati Polresta Bogor dan Mabes Polri, yang dikeluarkan tanggal 9 Februari 2010. Surat pertama kepada Kapolresta Bogor, perihal “Pengaduan Pelanggaran HAM”. Surat kedua kepada Kapolri perihal “Permintaan Tindakan Profesional Aparat Kepolisian”. Kekurangsiapgaan polisi terlihat pula dari tidak adanya tindak lanjut terhadap surat—yang dikeluarkan polisi sendiri—tanggal 30 Mei 2010. Surat itu bernomor SPH2HP/522/V/2009/Sat Reskrim perihal: Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SPH2HP). Surat ini menindaklanjuti laporan gereja tentang peristiwa penggembokan pintu gerbang gereja GKI. Laporan dibuat GKI 22 April 2010. Dalam surat itu tertera “setelah dilakukan penyelidikan ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana.” Tindak pidana yang dimaksud diatur di Pasal 175 KUH Pidana. Satpol PP Pemkot Bogor adalah lembaga terduga pelaku dalam kasus ini. Alih-alih meneruskan penyelidikan, polisi justru seiring sejalan dengan Pemkot dan penyelidikan tak ada tindak lanjutnya. Aparat pemerintah lain yang menghambat pembangunan adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Pada 12 April 2010, GKI Yasmin hendak mengadakan kebaktian di lokasi gerejanya. Rencana tersebut diumumkan secara terbuka kepada jemaat GKI di sekitar Taman Yasmin. Tanpa pemberitahuan, sehari sebelum kebaktian, 11 April 2010, Satpol PP menggembok pintu gerbang. Akhirnya, kebaktian terpaksa dilakukan di trotoar depan gereja. Pada lain waktu, panitia GKI Taman Yasmin juga pernah berhadapan dengan Satpol PP. Saat itu, Satpol PP tengah malam mengangkut besi milik gereja dengan alasan pembangunan tidak bisa dilanjutkan lantaran izinnya masih beku. Keesokan harinya, panitia mendatangi kantor Satpol PP Kota Bogor untuk meminta penjelasan pengambilan besi-besi tersebut. Faktor politik menambah ruwet persoalan. 11 Maret 2010, Satpol PP menggembok pagar GKI atas perintah Wakil Walikota, Ahmad Ruhiyat, kader PKS. Keterlibatan PKS dalam kasus ini juga terlihat pada awal-awal penggalangan massa. Kader PKS menempelkan selebaran antigereja di masjid dan musala Curug Mekar. Gerakan massa penentang yang belakangan mengambil nama Forkami juga mendapat restu dari Wakil Walikota Bogor. Problematika GKI Taman Yasmin juga rumit pada level sosialnya. Dalam proses sosialisasi, Iwan (bukan nama sebenarnya), yang tinggal di Sektor 3 Kompleks Taman Yasmin, menolak rencana pembangunan gereja. Pada tahun 2004, Iwan menjadi ketua RT. Pada saat panitia meminta Iwan mengesahkan tanda tangan dukungan yang berjumlah lebih dari 200 buah, ia menolak. Dengan begitu, pengajuan IMB rumah ibadah tidak bisa dilakukan. Pada sosialisasi kedua tahun 2006, Iwan menyatakan bahwa menurut akidah yang dianutnya, ia tidak bisa menyatakan menolak atau menerima gereja. Ia tidak berkeberatan ada gereja di wilayahnya bila sudah ada izin dari pemerintah. Selain Iwan, pada sosialisasi II, dari 70 orang yang hadir, terdapat seorang yang menyatakan keberatan secara terbuka. Dia adalah Rahman (bukan nama sebenarnya), seorang kader PKS. Dia beralasan, gereja ini berhadapan dengan masjid yang ia pimpin di Curug Mekar. Kenyataannya, gereja dan masjid tidak berhadapan, bahkan jarak keduanya cukup jauh. Tahun 2008, saat panitia hendak melanjutkan pembangunan pondasi, protes yang mengatasnamakan masyarakat mulai muncul. Protes tersebut dimobilisasi oleh Bonar (bukan nama sebenarnya), pendatang asal Medan yang mengaku alumni Afghanistan, warga Taman Yasmin. Peserta protes meminta penghentian pembangunan. Mereka mengancam akan membakar mobil molen dan alat pembuat bahan pondasi. Pembangunan akhirnya berhenti. Karena material bangunan masih tersimpan, panitia bermaksud melanjutkan pembangunan. Kali ini, di dalam bedeng, panitia berunding dengan pihak kecamatan dan kelurahan tentang bagaimana mencegah aksi anarkis warga. Tiba-tiba, kelompok penentang menyerbu lokasi dan memaksa pihak kelurahan serta H. Ujang ke luar. H. Ujang bahkan mendapat beberapa pukulan. Pembangunan kembali dilanjutkan Januari 2010. Pembangunan kali ini bekerjasama dengan orang Madura sebagai pemborong. Empat hari pembangunan berlangsung, muncul surat edaran yang ditandatangani oleh Bonar yang intinya meminta warga menolak pembangunan gereja. Akhirnya, panitia menghentikan pekerjaan pada hari tersebut untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Meskipun polisi menyatakan menjamin keamanan, tanpa diduga, massa berhasil merusak tembok pagar gereja, dan polisi tidak melakukan apa-apa. Sejak itu, aksi massa yang dimotori oleh Bonar menggunakan nama Forkami (Forum Komunitas Muslim Indonesia). Agenda mereka adalah mendesak walikota mencabut izin GKI Taman Yasmin. Forkami sebagai wadah memang dimotori oleh warga kelurahan Curug Mekar, akan tetapi cikal bakal organisasi ini adalah aksi massa dari luar kampung. Bahkan menurut RW setempat, orang Jasinga, Bogor Selatan, pun ikut dalam aksi-aksi tersebut. Forkami, menurut salah satu pengurus RW 08, sebenarnya meresahkan warga. Keresahan warga terjadi ketika Forkami meminta warga menyatakan keberatan atas keberadaan gereja. Seorang warga mengadu kepada pengurus RW kalau dirinya tak kuasa menolak permintaan tanda tangan lantaran didatangi lima orang. Selain dia, seorang ibu juga dipaksa memberi dukungan kepada Forkami beserta dengan salinan KTP. Saat itu, anak tertuanya datang dan menolak. Forkami tetap memaksa dan terjadi adu mulut. Keesokan harinya, suami ibu tersebut yang seorang anggota TNI mendatangi markas Forkami dan mengeluarkan pistol. Kejadian tersebut bisa diatasi segera sehingga kontak fisik tidak terjadi. Di Curug Mekar, menurut pengakuan pengurus RW, beberapa pembangunan gedung komersial di sepanjang Jl. Ring Road juga mendapat tentangan dari warga, termasuk Bonar. Misalnya, pembangunan Hermina dan Giant sempat mendapat hambatan dari warga. Masalah selesai ketika sanak saudara pemrotes bisa bekerja di Hermina atau Giant. Di samping penentang, banyak juga warga yang memberi dukungan terhadap GKI Yasmin. Selain tandatangan dan salinan KTP, ada juga dukungan dalam bentuk lain. Aki Pohman, seorang purnawirawan muslim, mendatangi kelurahan untuk meyakinkan bahwa sudah seharusnya pembangunan gereja dilakukan. Bantuan Aki Pohman juga datang saat panitia hendak membangun pagar yang sekarang berdiri mengelilingi lahan GKI Yasmin.

META DATA PERISTIWA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Dalam kasus ini CRCS mencatat bahwa sampai saat buku ini diterbitkan, masalah ini belum juga mampu di selesaikan. Dalam kasus ini hambatan regulasi negara terwujud dalam beberapa hal. Hambatan pertama berupa pembekukan IMB rumah ibadah Taman Yasmin oleh Walikota. Hambatan ini kemudian disusul oleh keputusan Wakil Walikota agar Satpol PP menyegel gerbang gereja. Ketidaktegasan polisi merupakan hambatan regulasi negara yang ketiga. Ketidaktegasan ini membuat kelompok penentang bebas melakukan aksi anarkis. Mengenai regulasi sosial, hambatan terutama datang dari organisasi bernama Forkami dan figur-figur seperti Bonar dan Rahman yang melakukan mobilisasi penentangan gereja. Gereja sendiri berhasil mendapat dukungan beberapa kelompok warga. Akan tetapi, ketidaktegasan aparat keamanan membuat suara kelompok penentang cenderung lebih terdengar dibanding suara warga yang tidak berkeberatan.
Bentuk Solusi
Selesai
Status KBB
Menghambat KBB
Data
Tautan
file:///C:/Users/wscfa/Downloads/156Ok%20Monograf%20Jakarta%20(2).pdf
Komunitas Terdampak
Gereja Kristen Indonesia Yasmin