DESCRIPTION

Sejak pembangunan pertama kali dimulai sampai 2009 tidak pernah ada aksi intimidasi, protes, kekerasan dan penolakan. Satu-satunya kasus kekerasan yang pernah terjadi adalah pada 17 Desember 2009, seminggu sebelum rencana penggunaan gereja untuk pertama kalinya pada tanggal 24 Desember 2009. Aksi kekerasan itu pun tanpa didahului oleh ancaman dan peringatan. Peristiwa bermula dari ratusan -artikel Kompas 18 Desember 2009 menyebutkan seribuan- massa yang berkumpul di bundaran Patung Tiga Mojang, tak jauh dari gerbang utama Harapan Indah menjelang tengah malam 17 Desember 2009. Ratusan orang itu terdiri dari anak-anak hingga orang tua, termasuk ibu-ibu. Mereka tidak menggunakan seragam identitas ormas Islam tertentu, juga tidak membawa spanduk. Sekitar pukul 23:00, massa mulai merangsek menuju ke lokasi Gereja St. Albertus. Ketika tiba di lokasi, massa mulai melempari gereja dan merusak kaca serta lampu penerang gereja. “Selain melempari gereja, massa membakar pos satpam, satu motor satpam, dan kontainer yang dijadikan sebagai kantor kontraktor pembangunan gereja.”7 Mengetahui kejadian itu, Christina yang malam itu tengah menuju ke gereja segera memutar balik langsung melapor ke Polsek, sekitar 500 meter dari gereja. Satu jam kemudian, massa akhirnya berhasil dibubarkan oleh polisi dari Polsek Harapan Indah dan Polres Bekasi. Menurut Christina, massa memang datang siap membakar. Mereka membawa bensin. Waktu Kapolres datang pukul 02:00 dinihari (18 Desember 2009) diakui memang ada bau bensin, “Ini yang menyebabkan ribuan kardus keramik yang ada di lokasi bisa terbakar sampai pagi, begitu juga kontainer yang dijadikan kantor kontraktor.” Polisi sempat memasang police line di sekitar gereja pada malam hari sebelum mencabutnya Jumat pagi. Menurut Haryono, Sekretaris Panitia Pembangunan Gereja St. Albertus, “Massa memang tidak terorganisasi. Meski mungkin bisa saja digerakkan oleh ormas.” Namun, diketahui bahwa massa berasal dari masyarakat kecamatan Taruma Jaya. Kasus ini kemudian ditangani oleh Polres, “Para pelaku perusakan yang ditangkap oleh polisi sebenarnya banyak. Tapi, mereka tidak mengaku dari organisasi tertentu.” Kasus ini selesai tanpa pernah diajukan ke pengadilan. Awalnya, sejumlah aktor aksi perusakan gereja sempat ditangkap, akan tetapi pelaku hanya dikenai pasal pencurian, itu pun hanya satu orang yang tertangkap tangan mencuri bor listrik. Mengenai perubahan dari kasus perusakan ke kasus pencurian, Christina merespons, “Terus terang saja, saya tidak mau mencampuri persoalan hukum. Saya serahkan semua kepada polisi.” Christina sendiri setuju untuk tidak mempertajam kasus tersebut. Kemungkinan polisi sengaja meredam kasus ini dengan mengalih-kannya ke isu lain untuk menghindari dampak lebih besar yang mungkin terjadi jika para pelaku dikenai kasus pembakaran rumah ibadah. Pada masa sebelum 2006, regulasi negara cenderung menyulitkan upaya pendirian gereja. Hal ini tidak lepas dari belum terbangunnya hubungan baik gereja dengan masyarakat. Menurut Christina, pada masa-masa itu, gereja hanya mengandalkan komunikasi dengan satu orang tokoh, Haji Toha (bukan nama sebenarnya) yang belum tentu merepresentasikan warga sekitar. Selain itu, kerjasama dengan pengembang juga belum terjalin baik sehingga cukup memperlambat pengurusan izin ke pemerintah.Ketika terjadi penyerangan terhadap gedung gereja pada 17 Desember 2009, aparat negara, utamanya kepolisian justru menunjukkan sikap ambivalen. Di satu sisi, aparat menindaklanjuti dengan cepat, bahkan pagi hari setelah pembakaran, Kapolsek, Kapolres, dan beberapa pejabat TNI/Polri lain mengunjungi lokasi untuk memantau keadaan dan menjamin keamanan. Di sisi lain, aparat keamanan seperti enggan untuk menindaklanjuti peristiwa pembakaran itu dengan tegas. Terkait regulasi negara, panitia gereja juga berkomitmen untuk tidak melaksanakan kegiatan apa pun di tanah yang dimiliki sebelum ada izin. Meskipun untuk mendapat izin tesebut, gereja telah melakukan lebih dari yang diminta dalam PBM. Gereja telah mengurus Amdal, izin lalu lintas, izin pemadam kebakaran, dan beberapa izin lain yang sebenarnya tidak eksplisit diminta PBM. Christina sendiri mengakui bahwa gereja tidak ingin kecolongan, jadi lebih baik dipersiapkan di awal.

META DATA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Respons aparat negara begitu cepat dan penuh perhatian. Bahkan beberapa pejabat dari Mabes Polri menghubungi secara personal. Sekalipun predikat perwira tinggi ini diakui Christina sangat membantu dirinya maupun panitia gereja untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah, namun ia tetap menekankan bahwa yang utama adalah menjaga hubungan baik dengan masyarakat.
Bentuk Solusi
Selesai
Status KBB
Menghambat KBB
Data
Tautan
file:///C:/Users/wscfa/Downloads/156Ok%20Monograf%20Jakarta%20(2).pdf
Komunitas Terdampak
Gereja Katolik St. Albertus