DESKRIPSI PERISTIWA

Permasalahan gereja dapat dibedakan ke dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama adalah sebelum gereja mendapat IMB, yaitu sebelum tahun 2004. Kurun waktu kedua adalah dinamika yang terjadi setelah gereja mendapat IMB. Karena kurun waktu yang cukup lama, tidak ada catatan kronologis yang dapat ditemukan tim peneliti terkait kejadian-kejadian yang telah terjadi. Semua sebatas ingatan narasumber. Pada kurun waktu pertama, permasalahan lebih terkait kepada sulitnya mendapatkan izin dari pemerintah. Hal ini disebabkan antara lain tingkat resistensi warga yang masih tinggi, ditambah lagi adanya perbedaan pendapat dalam internal gereja dan panitia pembangunan. Menurut Mulyadi, Ketua RT 07, salah satu kesalahan gereja saat itu adalah terlalu percaya kepada makelar perizinan dan bukannya mendekati warga secara langsung. Sebagai akibatnya, warga merasa kurang dihargai karena gereja memakai orang yang bukan tokoh masyarakat sekitar.
Kurangnya keakraban dengan warga antara lain ditunjukkan oleh cerita dari Romo Yosefselaku pastor paroki. Dia mulai ditugaskan ke Mikael pada tahun 2005. Pada saat itu, menurut ingatannya, hampir tidak ada warga sekitar Strada yang mau masuk dan berjalan-jalan di kompleks Strada yang luas. “Haram,” Romo Yosef menjelaskan alasannya. Ditambah lagi, di antara kompleks dan permukiman terdapat satu pintu kecil yang hanya cukup untuk pejalan kaki. Sepanjang sejarah, pintu ini tidak pernah dibuka dan warga pun mewanti-wanti untuk tidak membukanya. Belakangan, justru pintu bersejarah ini yang akan menjadi awal
hubungan baik. Hal lain yang cukup mengganjal dalam kurun waktu pertama pendirian gereja adalah aspek soliditas internal. Karena sudah bertahun-tahun mengurus izin namun tetap gagal, muncul rasa putus asa di kalangan umat, panitia pembangunan gereja (PPG), hingga pastor paroki. PPG sudah diganti berkali-kali, namun terus menghadapi masalah yang sama: keputusasaan dan ketidakpercayaan. Masalah ini berimbas pada banyak hal, mulai dari pencarian dana, kepemimpinan, hingga membangun relasi dengan warga sekitar.
Pada kurun waktu kedua, 2004 - 2008, Mikael sudah memiliki IMB untuk gereja namun dihambat pembangunannya. Dalam hal ini, yang paling berperan adalah resistensi warga. Beberapa warga menghambat pembangunan dengan berbagai alasan: truk bangunan yang berisik dan menggangu tidur, kemacetan yang disebabkan kendaraan umat saat ibadah, hingga merasa umat Katolik terlalu eksklusif. Dari wawancara dengan Basyuni, ketua RT 03, salah satu faktor yang mendorong resistensi warga adalah ceramah di masjid yang dilakukan oleh Ustadz Abdullah (bukan nama sebenarnya). Ia menginisiasi warga untuk menolak gereja dan membenci umat Kristen. Belakangan provokasi ini dapat ditanggulangi oleh pengurus RT dan Ustadz Abdullah mulai kehilangan dukungan. Ia kemudian mengambil langkah dengan mengundang pihak-pihak dari luar, seperti FPI dan FBR. Beberapa insiden sempat meningkatkan ketegangan antara gereja dan kelompok penentang, antara lain saat dua truk anggota FPI menyambangi lokasi pembangunan, saat acara Nuzulul Qur’an
dimanfaatkan untuk memprovokasi warga, dan saat warga menolak kedatangan truk-truk bangunan pada malam hari.5 Karena fokus kasus ini adalah penyelesaian masalah, maka analisis regulasi negara dan sosial ditekankan pada kurun periode ini. Aktor negara yang paling berperan dalam kasus Mikael adalah pemerintah (direpresentasikan oleh Wakil Walikota Bekasi saat itu, H. Mochtar Mohamad) dan kepolisian (direpresentasikan oleh Kapolres Bekasi). Karena setelah mendapat izin pun gereja terusmenerus dipersoalkan oleh beberapa kelompok, maka Kapolres memediasi pertemuan antara pemerintah, gereja dan kelompok penentang. Dalam pertemuan itu, menurut Romo Yosef, Wakil Walikota menyatakan dengan cukup jelas, “Saya tidak mau banyak bicara. Hanya mau mengatakan, siapa ribut-ribut saya tangkap.” Saat Kapolres mendapat giliran bicara, ia juga mengatakan, “Saya ini kan tugasnya melindungi pemerintah. Pemerintah tadi sudah ngomong. Siapa ribut-ribut, saya tangkap.” Ketegasan kedua orang ini saat itu mampu membuat gentar kelompok penentang sehingga mereka menimpali dengan, “Kami pikir ini hanya miskomunikasi saja. Sebenarnya tidak ada masalah. Tapi beginilah yang terjadi bila kita tidak pernah silaturahmi.” Peran kepolisian cukup dirasakan ketika massa FPI mendatangi lokasi pembangunan gereja dengan menggunakan truk. Aparat kepolisian yang berjaga di situ dengan tegas meminta FPI untuk pergi, meskipun jumlah massa lebih besar dari jumlah
aparat. Ada juga saat ketika warga menolak kehadiran truk-truk bangunan namun berhasil dipersuasi oleh Polmas. Untuk semua peran polisi ini, gereja mengaku tidak mengeluarkan uang khusus. Semata hanya “uang rokok” saja. Peran yang cukup aneh justru dilakukan oleh FKUB yang baru lahir tahun 2006. FKUB mendatangi gereja dan menanyakan beberapa perizinan. Institusi ini juga mengundang warga sekitar dan menanyakan apakah warga keberatan. Dalam pertemuan itu, ketua RW menegaskan bahwa keberadaan gereja sudah baik dan tidak merugikan warga. Seharusnya tidak ada yang mempermasalahkan, terutama bila orang tersebut tidak tahu duduk masalahnya. Tindakan FKUB ini menunjukkan bahwa di dalam FKUB sendiri masih terdapat kerancuan dan ketidakpahaman tugas. Tidak ada aturan yang menyatakan FKUB harus mengecek ulang izin rumah ibadah yang telah diberikan.
Sekalipun ada keanehan demikian, tidak berarti FKUB sama sekali tidak berguna. Menurut Krissantono, peran FKUB antara lain dapat dilihat dalam upaya representasi Katolik di FKUB Bekasi (Bapak Imam) menjalin komunikasi dengan pemuka-pemuka Islam.
Upaya komunikasi antarelit melalui FKUB ini terbukti cukup efektif dalam kasus pendirian gereja Stasi St. Albertus, Harapan Indah serta untuk meredam ketegangan antara Mikael dan kelompok penentang. Regulasi sosial adalah aspek paling menonjol dalam kasus St.
Mikael, Kranji. Penolakan warga terutama dilandasi kekhawatiran kristenisasi dan merasa umat Katolik eksklusif. Salah satu tokoh penolak adalah Ustadz Abu (bukan nama sebenarnya) dari Forum Ustadz Bekasi Barat dan Ustadz Abdullah yang sering memberikan ceramah di masjid setempat. Strategi gereja untuk mengatasi hal ini adalah membangun relasi baik dengan masyarakat, mulai dari tingkat RT, RW, dan naik hingga ke kelurahan dan kecamatan. Salah satu momen paling menentukan dalam upaya membangun relasi dengan warga adalah keputusan untuk membuka pintu kecil yang disebutkan di atas. Pembukaan ini diawali dengan keinginan ketua RW untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan indah. Karena pintu kecil itu tidak pernah dibuka, lokasi di sekitarnya dijadikan warga sebagai tempat penimbunan sampah. Selain itu lokasinya juga gelap dan menjadi rawan. Ketua RW ingin memperbaiki situasi ini dan mengomunikasikannya dengan Romo
Yosef. Beberapa warga sempat menentang karena membuka pintu berarti memudahkan akses warga ke gereja. Untuk mengatasinya, ketua RW coba meyakinkan warga dan didukung pula dengan Romo Yosef yang rajin duduk-duduk di sekitar pintu untuk menjalin komunikasi. Pada akhirnya, meskipun diwarnai keberatan warga, pintu kecil itu tetap dibuka dengan dihadiri oleh pengurus RT, RW, dan pemuka agama. Romo Yosef sendiri berdoa bagi pintu itu dan secara lugas berharap semoga dibukanya pintu menjadi awal dialog yang lebih baik antara gereja dan warga.

META DATA PERISTIWA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Adanya upaya dari aktor negara yang berperan dalam kasus Mikael yakni pemerintah (direpresentasikan oleh Wakil Walikota Bekasi saat itu, H. Mochtar Mohamad) dan kepolisian (direpresentasikan oleh Kapolres Bekasi) Karena setelah mendapat izin pun gereja terus menerus dipersoalkan oleh beberapa kelompok, maka Kapolres memediasi pertemuan antara pemerintah, gereja dan kelompok penentang.
Bentuk Solusi
Selesai
Status KBB
Menghambat KBB
Data
Tautan
file:///C:/Users/Riston/Downloads/156Ok%20Monograf%20Jakarta.pdf
Komunitas Terdampak
Jemaat Katolik St. Mikael