DESKRIPSI PERISTIWA

“Diskriminasi Pendidikan Agama Penghayat Kepercayaan di Magelang”


Eko Aji Widyantara (20), warga Dusun Wonogiri Kidul, Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sempat merasa disingkirkan oleh teman-temannya saat mengikuti pelajaran agama sejak SD sampai SMA.

Aji – sapaan akrabnya- merupakan siswa Penghayat Kepercayaan di sekolah yang akhirnya ‘terpaksa’ mengikuti mata pelajaran agama Islam.

Kondisi tidak nyaman yang dirasakan Aji membuatnya memutuskan untuk tidak mengikuti mata pelajaran agama yang tidak diimaninya. Nilai mata pelajaran agama itu pun kosong di buku rapornya.

“Sejak SMP udah nggak ikut pelajaran agama karena nggak nyaman, kayak disingkirkan gitu,” kata Aji di rumahnya, Senin (18/10/2021).

Aji bersekolah di Kabupatan Magelang hingga SMP. Kemudian, melanjutkan ke sekolah seni di Surakarta. Sampai saat ini Aji tetap memilih meyakini agama yang diwariskan oleh leluhurnya itu dan resmi tercantum di KTP.

Demikian juga dengan adik perempuannya, Ayu Dwi Palupi (15) dan saudaranya Lilis Rahayu (22). Lupi dan Lilis mengikuti pelajaran agama Katolik sejak SD sampai SMP.

Agung Nugroho atau yang biasa disapa Prabu (42), Paman Lilis, bercerita bahwa pada saat kelas 3 SMP, Lilis ditawari oleh sekolah untuk tetap belajar Katolik dan akan mendapat beasiswa sampai perguruan tinggi.

“Ya sudah, akhirnya memilih Katolik, demi mengejar beasiswa itu dan sekarang Lilis sudah kuliah di jurusan keguruan di Universitas Negeri di Semarang,” ungkap Prabu.

Pengalaman yang sama juga dialami Prabu saat mendaftarkan sekolah putrinya, Evangeline Yisrael Dian Nugroho (13) sejak Taman Kanak-kanak (TK).

Icha-panggilannya-mau tidak mau harus mengikuti salah satu pilihan agama yang sudah ditentukan oleh sekolah. Prabu mengisahkan, putrinya semata wayangnya itu sekolah di sebuah TK di pusat Kota Magelang, Jawa Tengah. Prabu sempat menanyakan kepada guru TK tersebut perihal agama yang harus dipilih oleh anaknya.

"Saya tanya sama guru TKnya, apakah di TK ada pelajaran agama sedangkan TK tersebut adalah umum. Dia menjawab, ada pelajaran rohani jadi anak harus memilih mau ikut agama apa, kalau mau sekolah di sini harus memilih," kata Prabu, di rumahnya di Dusun Jetis, Desa Pagersari, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

Dengan perasaan mengalah, Prabu akhirnya mengisi kolom agama Kristen karena tidak tersedia kolom agama Penghayat Kepercayaan. Kristen adalah agama yang dianut oleh kakek Icha.

Kejadian berulang ketika putri semata wayangnya itu masuk SD Negeri di Kota Magelang dan berlanjut saat masuk SMP Negeri di Kabupaten Magelang. Jawaban pihak sekolah pun serupa, siswa harus memilih agama yang sudah ditentukan agar dia bisa bersekolah dan mendapatkan nilai agama.

"Ketimbang anakku enggak sekolah, enggak dapat nilai seperti teman-temannya yang lain," ungkap Prabu.

Walaupun demikian, Prabu bersyukur, selama mengikuti pelajaran agama Kristen, anaknya tidak mendapatkan kendala berarti karena lingkungan sekolahnya mendukung.

Prabu menyadari, setiap anak berhak memilih sesuai dengan keinginan dan keyakinannya sendiri, bukan karena pilihan orangtuanya.

Akan tetapi, sebelum berusia 12 tahun anak semestinya mengikuti keyakinan orangtua sebagaimana tertuang dalam Pasal 42 ayat (2) UU Perlindungan Anak.

Hal serupa dialami oleh Adi Kulowasit (31) seorang petani asal Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Putranya memilih mengikuti agama Islam agar bisa bersekolah di SD Negeri Kapuhan, Kabupaten Magelang.

Alasan pihak sekolah waktu itu karena tidak ada guru yang mengajar penghayat kepercayaan. Pilihannya hanya 3, yaitu Islam, Kristen atau Katolik.

"Anak saya ikut pelajaran agama Islam, sekadarnya saja agar dapat nilai, Toh kami nggak mengimani agama itu. Sehari-hari ya ikut kami (sebagai penghayat)," kata Wasit.

Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kabupaten Magelang, Kikis Wantoro (42) mengungkapkan, hingga saat ini tidak ada sekolah maupun lembaga pendidikan di Magelang yang memberikan fasilitas bagi anak-anak penghayat kepercayaan.

Kikis mengatakan, MLKI Kabupaten Magelang telah melaksanakan mandat dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudistek) untuk memfasilitasi kegiatan pencetak penyuluh penghayat kepercayaan, dengan harapan bisa mengajar anak-anak penghayat kepercayaan di sekolah.

Ada sekitar 5 orang di Kabupaten Magelang yang sudah dilatih hingga mengantongi sertifikat sebagai penyuluh Penghayat Kepercayaan dari Kemendikbudristek.

Sertifikat tersebut menandakan bahwa mereka sudah berkompeten dan siap untuk disalurkan ke sekolah atau lembaga pendidikan.

"Akan tetapi faktanya, tidak ada sekolah yang mau menampung mereka dengan alasan tidak ada dasar aturannya. Bahkan, ketika dikonfirmasi ke sekolah dan Disdikbud malah saling lempar," terang Kikis, di Sekretariat Kelompok Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa "Pahoman Sejati" Desa Kapuhan.

Menurut Kikis, para penyuluh ini sering kali hanya dijanjikan jika sudah lulus pelatihan akan disalurkan ke sekolah-sekolah yang membutuhkan.

Ia mengaku sudah memenuhi syarat apapun yang ditetapkan agar bisa mengajar anak-anak penghayat, mulai dari membuat surat pernyataan bermaterai, mengumpulkan data-data anak penghayat dan sebagainya.

Mereka juga bersedia, kalau pun harus mendatangi ke rumah siswa jika mereka pelajaran penghayat kepercayaan tidak bisa dilaksanakan di sekolah.

"Tapi ya tetap tidak berbuah hasil sampai sekarang," ucap Kikis.

Data Dewan Musyawarah Daerah MLKI Kabupaten Magelang mencatat, pada tahun ajaran 2017/2018 ada sebanyak 73 peserta didik Penghayat Kepercayaan yang tersebar Kabupaten Magelang, diantaranya di Kecamatan Dukun, Pakis, Sawangan, Kaliangkrik, dan paling banyak di Kecamatan Borobudur.

Pada tahun ajaran 2020/2021 bertambah menjadi 105 peserta didik, dari jenjang SD hingga SMP.

Kikis menyebutkan ada sekitar 13 kelompok penganut penghayat kepercayaan yang tersebar di Kabupaten Magelang. Dalam satu kelompok beranggotakan puluhan hingga seratusan penganut.

Kikis dan warga penghayat kepercayaan lainnya sangat berharap anak-anak mereka mendapatkan akses pendidikan agama, setara dengan anak-anak penganut agama lain yang diakui negara.

"Harapan kami tentu saja sekolah-sekolah itu menerima anak-anak kami, karena anak juga berhak dapat pelajaran agama seperti yang lain," harap Kikis.

Salah seorang guru SD Negeri Kapuhan 2 Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Mahmudah mengungkapkan, di sekolahnya memang tidak ada mata pelajaran agama Penghayat Kepercayaan.

Selain karena tidak ada pengajarnya, juga tidak ada pedoman kurikulum dari dinas.

Selama ini, katanya, belum pernah ada permintaan dari orangtua/wali agar sekolah menyediakan layanan Pendidikan bagi peserta didik Penghayat Kepercayaan.

Dia sendiri mengetahui jika ada banyak warga, termasuk anak-anak, penganut agama tersebut di desa-desa sekitar sekolahnya.

Sementara itu, Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Sawangan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Sujoko mengungkapkan, pada tahun ajaran 2021/2022 ini terdapat seorang peserta didik yang mengaku sebagai penganut Penghayat Kepercayaan.

Ini merupakan kasus pertama dalam sejarah di sekolah yang terletak di Jalan Magelang-Boyolali itu.

“Kami pun kaget, ada satu peserta didik yang mengisi kolom agama lain-lain pada formulir pendaftaran peserta didik baru. Saya tanya langsung kepada dia, dan dia jawab kalau penganut penghayat kepercayaan,” ungkap Joko.

Kasus ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi sekolahnya, sebab sejauh ini tidak ada mata pelajaran Penghayat Kepercayaan dan tidak ada pengampunya. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Disdikbud Kabupaten Magelang terkait persoalan ini agar siswa tesebut mendapatkan haknya belajar agama.


Tidak ada tenaga penyuluh

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Magelang, Azis Amin Mujahidin mengakui, sejauh ini memang belum ada pendidikan agama bagi Penghayat Kepercayaan yang diajarkan di sekolah-sekolah di Kabupaten Magelang.

Hal itu karena belum ada pedoman kurikulum, dan belum ada sumber daya manusia (SDM) pengajarnya.

Agama yang ada selama ini 6, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu.

"Karena belum ada di kurikulum pendidikan Penghayat Kepercayaan dari pusat, dan tidak ada gurunya," terang Azis, didampingi Sekretaris Disdikbud Muh Rofi.

Aziz mengatakan, di wilayahnya ada Pengawasan Aliran Penghayat Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) dibawah koordinasi Kejaksaan Negeri Magelang. PAKEM memiliki anggota 11 kelompok Penghayat Kepercayaan yang tersebar di Kabupaten Magelang, dengan total penganut mencapai 2.613 orang.

Setiap tahun sebelum pandemi Covid-19, rutin diadakan kegiatan pembinaan bagi anggota PAKEM.

Sejauh ini kegiatan masih berupa sarasehan atau forum diskusi, dan belum ada kegiatan yang mengarah pada pelatihan khusus bagi penyuluh Penghayat Kepercayaan di sekolah.

Azis melanjutkan, jika akan diadakan sekolah maka perlu ada regulasi-regulasi, termasuk kurikulum yang akan menjadi pedoman pembelajaran.

Ia menyebut belum ada sosialisasi terkait implementasi pendidikan Penghayat Kepercayaan dari pusat.

Sebagai informasi, jumlah jam pelajaran agama di sekolah negeri rata-rata 3 jam per minggu. Sedangkan di sekolah swasta berbasis agama ditambah 5 jam, menjadi 8 jam mata pelajaran per minggu.

Adapun untuk jumlah guru disesuaikan dengan kebutuhan sekolah, ada guru negeri dan swasta atau guru tidak tetap (GTT).

Hampir semua sekolah di Kabupaten Magelang dari jenjang SD sampai SMP mempunyai guru agama, yakni untuk agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu.

Wakil Wali Kota Magelang, M. Mansyur menuturkan, sejauh ini pendidikan agama penghayat kepercayaan memang belum ada di sekolah atau lembaga pendidikan di Kota Magelang.

Pihaknya juga belum mendengar ada anak didik dari penghayat kepercayaan yang bersekolah di wilayahnya, termasuk mata pelajarannya.

Menurut Mansyur, mata pelajaran pendidikan penghayat kepercayaan mungkin saja ada di sekolah, akan tetapi masuk pada pelajaran muatan lokal yang disesuaikan dengan daerah masing-masing.

"Kalaupun akan dilaksanakan di sekolah nanti masuk pelajaran muatan lokal, atau ekstrakurikuler, sesuai kondisi daerah masing-masing," terang Mansyur ditemui di Kota Magelang, Rabu (27/10/2021).

Tidak hanya di Magelang, persoalan pendidikan agama Penghayat Kepercayaan juga terjadi hampir di berbagai daerah seperti di Surabaya, Jawa Timur.

Ketua Pusat Perempuan Penghayat Indonesia (Puanhayati), Dian Jennie Cahyawati menceritakan ada beberapa guru secara personal yang menolak terlihat dari bahasa tubuh mereka.

Meskipun diakui Dian, secara umum sekolah di Kota Pahlawan itu sudah menerima siswa Penghayat Kepercayaan.

"Dari gesture mereka tidak nyaman, tapi mereka tidak bisa menolak karena sudah ada aturannya," ungkap Dian, dihubungi melalui telepon, Kamis (28/10/2021).

Selain itu, siswa Penghayat Kepercayaan juga belum mengakses rapor secara online (e-rapor), sehingga masih manual. Baginya itu menjadi kendala tersendiri karena ia harus menerangkan satu per satu di setiap sekolah

Menurutnya, pemerintah telah menerbitkan payung hukum dan akses bagi mereka melalui Permendikbud nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Masa Esa.

Dian tidak sepakat jika pelajaran agama penghayat kepercayaan masuk pada kategori muatan lokal atau bahkan ekstrakurikuler.

Sebab penghayat kepercayaan adalah agama dan bagian dari berketuhanan setara dengan agama lain.

"Ini bagian dari keyakinan berketuhanan. Di rapor juga tertulis pendidikan agama Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa," imbuh Dian penganut penghayat kepercayaan Sapta Darma itu.

Regulasi tersebut memang baru seumur jagung, namun menjadi hal baru bagi dunia pendidikan di Indonesia yang sebelumnya hanya mengakomodir 6 agama saja.

Banyak komponen ataupun perangkat yang masih perlu diperbaiki hingga pedoman itu benar-benar bisa diimplementasikan.

SDM pengajar memang menjadi salah satu kendala ketimpangan pendidikan agama Penghayat Kepercayaan. Namun ada faktor lain, seperti sosialisasi kepada sekolah, serta adanya masalah kebijakan dan subjektivitas sekolah untuk bisa menerima anak didik penghayat kepercayaan.

"Kami (penyuluh) juga tidak dibayar. Kehadiran kami seakan hanya melengkapi nilai saja," tutur Dian, yang mengampu 11 siswa Penghayat Kepercayaan itu.

Sementara itu, Direktur Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbudristek, Sjamsul Hadi tidak memungkiri bahwa berbagai kendala masih dihadapi daerah dalam implementasi pendidikan agama bagi Penghayat Kepercayaan, termasuk di Magelang.

Saat ini baru ada sekitar 326 penyuluh pendidikan agama Penghayat Kepercayaan yang tersebar di 15 provinsi. Mereka pun belum berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga tidak bisa mengisi e-rapor siswa Penghayat Kepercayaan.

“Pengisian e-rapor kan harus guru status ASN, kita belum ada," imbuh Sjamsul.

Data pada akhir 2020, tercatat ada 2.868 peserta didik dari kalangan Penghayat Kepercayaan yang tersebar di 15 provinsi, diantaranya di Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan di Pulau Sumatera serta Sulawesi. Buku teks juga sudah disusun untuk dipakai kelas 1 sampai 12.

Pada 3 November 2021, lanjut Sjamsul, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, Jawa Tengah, meresmikan Program S1 Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Prodi ini merupakan satu-satunya prodi baru yang ada di Indonesia saat ini.

"Sudah ada 33 mahasiswa yang masuk prodi tersebut yang diharapkan ke depan menjadi tenaga pendidik Penghayat Kepercayaan di kesatuan sekolah formal," sebutnya.

Lebih lanjut, Kemendikbudristek telah membentuk Tim Koordinasi Advokasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, akhir Oktober 2021 lalu.

"Kalau ada persoalan terkait Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Adat, misalnya pendidikan ini, tim advokasi yang akan membantu daerah, berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait yakni MLKI maupun Dinas Pendidikan setempat," ucap Sjamsul.

Harti, Pamong Budaya Madya, pada Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbudristek, menambahkan, ada alur yang harus dipenuhi jika ingin pelayanan pendidikan agama Penghayat Kepercayaan diterapkan di sekolah-sekolah di Magelang.

Pertama, orangtua calon peserta didik mengajukan penyediaan layanan pendidikan agama Penghayat Kepercayaan. Atas permohonan tersebut, pihak sekolah akan mengajukan usulan ke Disdikbud setempat.

“Jadi kalau tidak ada permintaan dari orangtua peserta didik, ya tidak bisa. Kalau ada permintaan, maka sekolah akan mengusulkan ke Disdikbud,” ucap Harti.

Sosialisasi tentang pelayanan pendidikan agama Penghayat Kepercayaan sudah kerap dilaksanakan ke daerah-daerah.

Pedoman pelaksanaan pelayanan pendidikan agama Penghayat Kepercayaan juga mudah diakses di internet. Pedoman ini meliputi kurikulum, buku teks, tenaga penyuluh dan perangkat pendidikan lainnya.

"Kami coba berkomunikasi dengan MLKI di sini (Magelang) terlebih dahulu, untuk memetakan persoalan dan harapannya bisa ada solusi," ungkapnya.

Kepala Program S2 Program of The Center Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Samsul Maarif menuturkan, realita pendidikan agama Penghayat Kepercayaan di lapangan memang begitu kompleks. Ada kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan pendidikan itu tidak berjalan.

Samsul menyebut ada situasi di mana sekolah tidak tahu karena tidak ada sosialisasi, begitu juga penghayat yang tidak menginformasikan kalau mereka membutuhkan pendidikan agama bagi anak-anak mereka sendiri di sekolah.

Ada pula sekolah yang sudah tahu tapi tidak ada penyuluh.

"Sering juga ditemukan, di kalangan penghayat yang tidak pro aktif, entah karena tidak ada sosialisasi atau ada banyak pertimbangan lain. Ini menambah kerumitannya,” jelas Samsul.

Kemudian, dari kalangan penghayat ada yang tidak mau diusulkan menjadi penyuluh dan sebaliknya ada penghayat yang sudah siap dari sisi pendidikan dan lainnya tapi tidak segera mendapat pelatihan penyuluh.

"Kalau di Magelang sudah penghayat, secara aturan mereka berhak mendapat pendidikan agama. Apalagi kalau sudah ada penyuluhnya, maka tekanan (ke sekolah) jadi lebih kuat,” tandas Samsul.

Samsul mengakui salah satu faktor minimnya penyuluh pendidikan agama Penghayat Kepercayaan adalah honor.

Saat ini, pemerintah tengah mengupayakan, bahkan dipastikan tahun depan, sudah ada aturan terkait pemberian honor bagi penyuluh di sekolah-sekolah.

Lebih lanjut, diskomunikasi penghayat dengan MLKI, sekolah, Disdikbud, termasuk Kemendikbudristek, menjadi salah satu faktor ruang aktualisasi pendidikan agama Penghayat Kepercayaan tidak berjalan.

Komunikasi ini perlu agar aturan negara tentang pendidikan agama Penghayat Kepercayaan dapat dijalankan.

Selain itu, perlu dipastikan pula identitas Penghayat Kepercayaan di Magelang sudah tercantum di KTP atau KK secara administratif.

Sebab di sekolah, pendidikan agama diajarkan oleh pemeluknya kepada pemeluknya.

“Dengan adanya pendidikan agama Penghayat Kepercayaan, maka menambah pendidikan agama di sekolah-sekolah. Itu adalah hak warga untuk memilih pendidikan sesuai keyakinannya,” tegas Samsul.

META DATA PERISTIWA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Bentuk Solusi
Tidak Diketahui
Status KBB
Menghambat KBB
Data
Tautan
https://regional.kompas.com/read/2021/11/22/121748378/diskriminasi-pendidikan-agama-penghayat-kepercayaan-di-magelang?page=all#page2
Komunitas Terdampak
Sapta Darma, Pahoman Sejati