geotimes.id, âPerda Syariâah dalam Perspektif Kebebasan Sipil", (2018).
Tulisan ini tidak hendak membahas dan menjustifikasi soal
pernyataan Ketum PSI, Grace Natalie terkait penolakannya terhadap Perda-perda
Syariah dan atau Injil, yang dianggap kontoversial dan âmenistaâkan agama oleh
beberapa pihak. Tentunya juga tidak bermaksud mengkampanyekan tagar
#GraceAdalahKami, apalagi #SaveGempi, jelas tidak. Melainkan hanya ingin turut
mengulas eksistensi perda syariah dengan prespektif kebebasan sipil dalam
konteks keindonesiaan.
Terlepas dari preferensi dan bias politik, sebetulnya cukup
disayangkan terkait dikriminalkannya pernyataan politik Grace tersebut.
Selain menunjukan gagapnya kita dalam menjalankan apa yang disebut Jurgen
Habermas dengan âdemokrasi deliberatifâ juga membuka mata kita bahwa
terdapat kecacatan logika elit politik dalam memilah wacana dan komoditas
politik.
Sebagai negara demokrasi konsekuensi logisnya adalah
kedaulatan rakyat diatas segala tanpa diskriminasi perseorangan atau kelompok
dan penjaminan penuh kebebasan sipil. Mengapa ini menjadi penting? Karena
demokrasi diskriminatif dan tanpa kebebasan sipil (atau gangguan terhadapnya),
hanya akan menampilkan oligarki berwajah demokrasi. Kebebasan sipil tidak lain
adalah bahan bakar demokrasi itu sendiri, menjalankan kebebasan sipil sama
dengan menjalankan roda demokrasi.
Kebebasan Sipil dan Kebebasan Beragama dalam Lingkaran Perda
Syariah
Kebebasan sipil sederhananya adalah kebebasan individu
warganegara untuk mendapatkan kesempatan yang sama sebagai warganegara untuk
mengejar citaÂcitanya, atau untuk merealisasikan dan mengekspresikan dirinya
secara penuh, terlepas dari bawaan bawaan primordial yang melekat.
Kebebasan sipil adalah sub dan bagian dari hak asasi manusia
pada dimensi manusia dalam menjalankan praktik kewarganegaraan. Artinya tidak
ada pemisahan dan pengkhasan antara kebebasan sipil dan hak asasi manusia
secara universal, termasuk didalamnya kebebasan berserikat, berekspresi,
kebebasan beragama dan seterusnya.
Hadir dan mencuat kembalinya perda syariah akhir-akhir ini
bisa dikatakan sebagai ancaman kebebasan sipil, utamanya kebebasan beragama
selain merupakan diskriminasi yang bertolak belakang dengan prinsip dasar
demokrasi (kesamaan, kesetaraan dan keadilan).
Tentunya wacana produk yang berbau formalisasi agama semacam
ini harus betul mendapat porsi diskusi yang cukup. Pasalnya produk hukum
sejatinya mencangkup seluruh warga masyarakat sebagai obyek hukum, selain itu
dampak diskriminatif pasti dirasakan pihak minoritas. Perlu dipertanyakan
kembali pengamalan prinsip hukum dan komitmen kebangsaan kita.
Meskipun dalam beberapa Undang-undang dijelaskan bahwa
urusan agama adalah kewenangan Pemerintah pusat, tapi semangat otonomi
daerah membuat masing masing daerah merasa berwenang membuat aturan. Dalam
penerapannya dalam beberapa kasus seperti di Bulukumba, Bekasi, Manokwari dan
lainya, Perda bernada syariah benar terasa mengusik kebebasan beragama dan
berkeyakinan.
Secara umum, kebebasan beragama dan berkeyakinan mencakup
kebebasan untuk memilih dan memeluk agama, kebebasan untuk menjalankan
keyakinan agama, kebebasan untuk tidak didiskriminasi atas dasar agama, dan
bahkan kebebasan untuk tidak beragama. Kebebasan itu mencakup pula kebebasan
seseorang atau kelompok untuk mengekspresikan keyakinan dan nilai-nilai agama,
sejauh hal itu tidak mengakibatkan hilang atau terhambatnya kebebasan agama
orang atau kelompok lain.
Idealnya, berarti harus ada jaminan konstitusional bahwa
pemerintah tidak akan menetapkan agama atau agama tertentu sebagai agama resmi
satu negara. karena begitu esensialnya kebebasan beragama atau berkeyakinan
bagi hidup manusia, maka hal itu sudah lama dianggap sebagai bagian dari Âhak
asasi manusia.
Sejalan dengan prinsip ini, tidak boleh ada kebijakan apa
pun yang terkait dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dihasilkan
berdasarkan suara mayoritas. Dalam demokrasi, prinsip inilah yang dikenal
sebagai âmajority rule, minority rightsâ: sementara kebijakan publik
secara umum memang harus didasarkan atas suara mayoritas, Âhak kelompok
minoritas tertentu sama sekali tidak boleh dilanggar. Prinsip inilah yang
sedang digerogoti di indonesia oleh praktik yang disebut âislamisasiâ
(versi islam tertentu) ruang publik dengan diterbitkannya Perda bernuansa
Syariâah.
Resiko Penerapan Perda Syariah
Mengingat kompleksitas yang tinggi masyarakat kita, tentunya
penerapan Perda yang bernada formalisasi produk agama akan menghadapkan kita
pada berbagai macam konsekuensi, umumnya berkaitan dengan relasi dominasi oleh
masyarakat penganut agama mayoritas.
Pertama adalah peraturan pemerintah yang membatasi
kebebasan beragama. Dalam dimensi pertama ini, yang disoroti bukan saja apakah
undangÂ-undang atau peraturan sebuah negara menghormati kebebasan beragama,
tapi juga apakah undangÂ-undang atau peraturan itu dapat dijalankan.Pemerintah
turut campur dalam mengatur kebebasan seseorang untuk berÂibadah. Misalnya
melarang misionaris internasional atau lokal bekerja, atau membatasi upaya
dakwah, pindah agama, dan lainnya.
Yang kedua adalah pengistimewaan pemerintah
terhadap kelompok kelompok agama tertentu. Dimensi ini seringkali kurang
diperhatikan, karena hal itu sudah dianggap ânaturalâ, given, di satu
konteks nasional tertentu. misalnya, Ânegara seperti iran atau inggris
mengistimewakan âagama Âagama historisâ tertentu. Misalnya Yunani, hanya
mengistimewakan Gereja Ortodoks, salah satu bentuk pengistimewaan yaitu
mudahnya pembangunan rumah ibadah, pendidikan, dana hibah pemerintah, dan
seterusnya bagi agama tertentu.
Yang ketiga adalah regulasi sosial yang membatasi
kebebasan beragama. Di sini, yang disoroti adalah sejauh mana kelompok agama
tertentu membatasi kebebasan beragama kelompok lain. Di negara seperti Pakistan
atau afghanistan, praktik perpindahan agama misalnya, bisa mengakibatkan
seseorang dibunuh. Dalam dimensi ini juga disoroti kasus di mana kelompok agama
tertentu mendukung atau menentang pemerintah, sehingga dari sana muncul
peraturan tertentu yang berakibat pada terhambatnya kebebasan beragama suatu
kelompok.
Jalan Tengah
Dalam sistem demokrasi modern, prinsip kebebasan beragama
hampir selalu diejawantahkan dalam bentuk keharusan untuk memisahkan antara
urusan negara dan urusan agama. Harus diingat bahwa pemisahan di sini artinya
bukan permusuhan negara atas agama, tetapi netralitas negara dalam urusan
agama. ini tidak berarti bahwa keyakinan dan nilai Ânilai agama tidak punya
tempat dalam politik atau pemerintahan.
Dalam hal ini, agar tidak ada agama tertentu yang
diistimewakan negara hanya karena klaim kebenaran, maka warganegara yang
memercayai kebenaran itu harus menyampaikannya ke ruang publik dalam dan bisa
didiskusikan secara bebas oleh penalaran publik (public reason).
âAgama harus siap untuk masuk ke dalam ruang publik, dalam
rangka memperjuangkan kepentingan mereka, melalui perdebatan yang rasional.
karena argumen publik bersifat trans subyektif, maka apa pun yang berasal dari
agama tidak boleh diistimewakan, melainkan hanya dapat diterima setelah ia
terbukti dapat dibela oleh penalaran publik.