DESCRIPTION

Penghentian aktivitas 24 gereja di Aceh Singkil ini sudah terjadi sejak Mei 2012. Pelarangan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil atas desakan sebagian masyarakat yang menolak keberadaan gereja-gereja yang tersebar di Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan Suro, Kecamatan Gunung Meriah dan Kecamatan Danau Paris dengan alasan tidak memiliki ijin. Komnas HAM telah melakukan penanganan terhadap permasalahan ini sejak Desember 2012 hingga 2016. Namun permasalahan pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil hingga saat ini masih belum sepenuhnya terselesaikan. Pada tanggal 22 April 2016, Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) kembali menyampaikan pengaduan dan meminta Komnas HAM mendorong Pemkab Aceh Singkil menyelesaikan permasalahan tersebut, namun selain pengaduan terkait pendirian rumah ibadah, Forcidas juga menyampaikan dua pengaduan lain: (1) tentang adanya diskriminasi pendidikan agama bagi anak-anak Kristen yang dipaksa mengikuti pelajaran agama Islam di sekolah; dan (2) vonis terhadap salah satu umat Kristen yang didakwa melakukan penembakan pada peristiwa pembakaran gereja pada 13 Oktober 2015. Menindaklanjuti pengaduan tersebut, Desk KBB Komnas HAM telah menyelenggarakan pertemuan konsultasi dengan Kodam Iskandar Muda dan Pemerintah Aceh (16 Mei 2016), para pengurus gereja Aceh Singkil (18 Mei) dan FORKOPIMDA Aceh Singkil (19 Mei 2016). Dalam serangkaian pertemuan tersebut, terungkap beberapa temuan dan telah dihasilkan beberapa kesepahaman dan langkah penyelesaian: 1. Pemkab Aceh Singkil telah memproses perijinan 11 gereja yang tidak dirobohkan, yakni dengan diterbitkannya rekomendasi dari FKUB dan Kantor Kementerian Agama Aceh Singkil. Selanjutnya, Pemkab Aceh Singkil berjanji akan mempermudah persyaratan-persyaratan teknis bangunannya. Telah dicapai kesepahaman bahwa proses perijinan 11 gereja akan dilaksanakan dalam waktu secepatnya agar segera diperoleh kepastian hukum; 2. Pemkab Aceh Singkil telah melakukan pembongkaran terhadap 9 gereja di Aceh Singkil sebagai realisasi hasil rapat tanggal 16 Oktober 2015. Namun dalam prosesnya ada dua gereja yang didalam rapat seharusnya tidak dirobohkan, tetapi ikut juga dirobohkan. Komnas HAM telah mendesak agar gereja-gereja yang dirobohkan tersebut dapat kembali memproses perijinan mengingat adanya kebutuhan nyata jemaat gereja-gereja tersebut; 3. Komnas HAM menemukan tidak ada ganti rugi terhadap gereja-gereja yang dibongkar, padahal hal itu juga telah dijanjikan oleh Pemkab Aceh Singkil; 4. Pemkab Aceh Singkil akan merobohkan tenda-tenda yang dibangun jemaat gereja di lokasi gereja yang telah dirobohkan sebelumnya. Sebagai gantinya, Pemkab Aceh Singkil berkomitmen akan membangun tenda di tempat yang tidak terlalu jauh dari lokasi tenda yang dirobohkan tersebut; 5. Pemkab Aceh Singkil akan selalu berkoordinasi dengan Komnas HAM perihal tindakan yang akan diambil terkait penyelesaian permasalahan rumah ibadah ini; 6. Ditemukan bukti-bukti yang kuat telah terjadi diskriminasi pendidikan agama terhadap anak-anak warga Kristen di Aceh Singkil. Karena itu, Dinas Pendidikan Aceh Singkil berjanji akan berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut. Atas dasar temuan tersebut, Komnas pada tanggal 16 Mei 2016 telah bertemu dengan Kodam Iskandar Muda (IM) di Markas Bagian Hukum dan Perundang-undangan Kodam Iskandar Muda. Dalam pertemuan tersebut Kodam IM menyampaikan sejumlah perkembangan di Aceh Singkil yang dilaporkan Komandan Kodim Aceh Singkil kepada Pangdam Iskandar Muda, sebagai berikut: 1. Dalam kaitan dengan proses pelaksanaan kesepakatan antara Pemkab Aceh Singkil, Pengurus pengurus Gereja Aceh Singkil yang disaksikan Pangdam Iskandar Muda pada tanggal 16 Oktober 2015, Kodam IM melaporkan sudah ada kemajuan dalam bentuk proses pengurusan perijinan 14 gereja yang akan dikeluarkan ijinnya untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam proses pengurusan ijin tersebut, 11 gereja telah memenuhi persyaratan persyaratan administratif yang dibutuhkan, sehingga proses selanjutnya tinggal menunggu pihak Bupati Aceh Singkil mengeluarkan ijin. Di samping itu, 2 gereja masih belum memenuhi seluruh persyaratan dan tengah dalam proses melengkapi, sedangkan 1 gereja sudah memiliki ijin rumah ibadah. Kendala yang masih ada adalah adanya Pergub Aceh, karena adanya persyaratan yang lebih berat bila dibanding Peraturan Bersama Menteri tentang pendirian rumah ibadah. 2. Kodam Iskandar Muda juga telah menerima laporan terkait adanya proses hukum berupa peradilan terhadap pelaku pembakaran gereja dan kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya 1 orang dalam konflik yang terjadi pada tanggal 13 Oktober 2015. Proses peradilan untuk kedua kasus itu telah selesai pada tingkat Pertama di Pengadilan Negeri Singkil. Merespons Putusan Pengadilan, para pihak menempuh proses hukum Banding dan selanjutnya Kasasi. 3. Dalam rangka pembinaan teritorial, Kodam Iskandar Muda melalui Dandim Aceh Singkil terus melakukan pencegahankonflikdenganmengingatkanmasyarakat untuk tidak mudah terprovokasi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan isu agama di Aceh Singkil. 4. Kodam Iskandar Muda melalui Dandim Aceh Singkil tetap melakukan monitoring dan pembinaan teritorial sebagaimana tugas dan fungsi TNI di Aceh Singkil dan Aceh pada umumnya. Selanjutnya, pada tanggal 16 Mei 2016 Komnas HAM bertemu Pemerintah Aceh. Dalam pertemuan tersebut, Dinas Syariat Islam menyampaikan: 1. Aceh adalah wilayah yang dalam Undang-undang memiliki kekhususan dan keistimewaan bila dibanding dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Dengan status tersebut, Aceh diberi keistimewaan untuk melaksanakan Syariat Islam. Namun Syariat Islam sebagaimana digariskan Undang-undang juga memberi kebebasan beragama, menghormati perbedaan dan tidak membenarkan adanya diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan. 2. Secara sosial, Provinsi Aceh juga memiliki sejarah toleransi yang panjang dimana berbagai agama dapat hidup dengan rukun di Aceh. Hal ini terbukti dengan berdirinya berbagai tempat ibadah beragam agama tanpa ada gangguan dari siapapun. Pemerintah dan masyarakat Aceh juga tidak pernah menghalangi hak orang lain untuk beribadah, karena di dalam Syariat Islam, hal semacam itu tidak dibenarkan dan melanggar nilai agama Islam. 3. Namun demikian, tidak dipungkiri dalam kehidupan masyarakat di Aceh terjadi sejumlah konflik di tengah masyarakat. Syahrizal meyakini bahwa konflik tersebut sesungguhnya bukan konflik agama, melainkan konflik sosial yang membawa-bawa isu agama oleh pihak-pihak tertentu.Motif sesungguhnya dari konflik tersebut berlatar ekonomi, perebutan lahan hingga masalah politik. 4. Terkait dengan perkembangan permasalahan rumah ibadah di Aceh Singkil, Syahrizal mengakui masih ada kendala administrasi yang dihadapi para pengurus gereja. 5. Dalam kaitan dengan kewenangan menerbitkan ijin rumah ibadah, Pemerintah Aceh menegaskan bahwa kewenangan tersebut ada di tangan Bupati sebagaimana diatur dalam Pergub Aceh dan PBM tentang Pendirian Rumah Ibadah. Secara normatif, kewenangan tersebut sangat beralasan, karena Pemerintah Provinsi tidak ingin mengambil alih kewenangan yang telah diberikan kepada Bupati. Keberadaan Pergub justeru menjamin agar “jangan ada lempar bola” dalam persoalan rumah ibadah. Pemerintah Provinsi menyatakan konsisten dan komit dengan aturan yang ada. 6. Situasi sosial dan keamanan di Aceh Singkil sudah relatif aman, aktivitas masyarakat sudah berjalan seperti biasa. Namun demikian, untuk merekatkan kembali keretakan antar masyarakat yang timbul akibat konflik, telah muncul gagasan untuk menyelenggarakan upacara adat “pesijuk” di Aceh Singkil, tetapi gagasan tersebut belum terlaksana hingga saat ini. Selain itu, Aceh Singkil juga memiliki kearifan lokal berupa hubungan kekerabatan yang kuat antar masyarakat meskipun ada perbedaan agama, sehingga masyarakatnya punya cara sendiri menyelesaikan konflik melalui pendekatan kekerabatan dan budaya setempat. 7. Pemerintah Aceh mendukung apa yang dilakukan oleh Komnas HAM sebagai bentuk kerja kolektif menyelesaikan permasalahan di Aceh Singkil. Dalam kaitan dengan undangan Komnas HAM dalam pertemuan tanggal 19 Mei 2016, Syahrizal mengatakan masih menunggu disposisi dari Gubernur terkait siapa yang akan ditugaskan dalam pertemuan tersebut. 8. Terkait dengan laporan adanya diskriminasi pendidikan agama di Aceh Singkil, Pemerintah Aceh belum dapat merespons lebih lanjut, karena harus mengecek informasi tersebut. Namun demikian, ditegaskan bahwa di dalam Islam tidak boleh ada pemaksaan agama, karena itu adalah sebuah kejahatan. Selanjutnya, pada tanggal 18 Mei 2016, Komnas HAM melaksanakan pertemuan dengan pengurus gereja-gereja Aceh Singkil yang berlangsung di gereja GKPPD Kuta Kerangan. Dalam pertemuan tersebut diperoleh informasi: 1. Pada tanggal 10 Mei 2016, FKUB Aceh Singkilmenerbitkan rekomendasi untuk 11 gereja yang telah direkomendasikan Kantor Kemenag Aceh Singkil, dengan rincian: GKPPD Biskang/Napagaluh, Gereja Katholik Napagaluh, GKPPD Lae Geucih, GKPD Dangguran, Gereja Katholik Suka Makmur, HKI Suka Makmur, GKPPD Keras, GMII Mandumpang, JKI Kuta Kerangan, GMII Gunung Sialit, dan GKPPD Gunung Meriah. 2. Dua gereja tidak diberi rekomendasi dengan alasan tidak memenuhi persyaratan jumlah pengguna, yakni: GKPPD Situbuhtubuh dan GKPPD Guha. 3. Pemerintah Aceh Singkil telah melakukan perobohan terhadap 9 gereja, yakni: GKPPD Siatas, GKPPD Sanggaberu, GKPPD Kuta Tinggi, GKPPD Tuhtuhan, JKI Simergarap, Gereja Katholik Lae Balno, Gereja Katholik Mandumpang, GKPPD Siompin, dan GMII Siompin. Pembongkaran dua gereja, yakni GKPPD Siatas dan GKPPD Sanggaberu oleh Pemkab Aceh Singkil telah menyalahi hasil pertemuan pada tanggal 16 Oktober 2015, dimana kedua gereja tersebut termasuk gereja yang akan diberikan izin. Tidak ada ganti rugi terhadap gerejagereja yang dibongkar, sebagaimana hasil rapat tanggal 16 Oktober 2015. Pemerintah Aceh Singkil menawarkan uang pembongkaran kepada beberapa gereja, namun hanya satu gereja yang dilaporkan menerima uang tersebut dengan jumlah 5 juta rupiah. Menindaklanjuti laporan tersebut, pada tanggal 19 Mei 2016 Komnas HAM mengadakan pertemuan konsultasi dengan Pemkab Aceh Singkil yang juga dihadiri perwakilan PemerintahAceh, Dinas Syariat Islam Aceh, PoldaAceh, dan Perwakilan korban. Dalam pertemuan tersebut diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. PemerintahAceh Singkil akan segera menerbitkan izin mendirikan bangunan rumah ibadah untuk 11 gerejayang telah mendapat rekomendasi dari Kemenag dan FKUB Aceh Singkil. 2. Pemerintah Aceh Singkil akan membangun tenda tempat ibadah sementara bagi jemaat 6 gereja yang telah dirobohkan. Pemerintah Aceh Singkil juga berjanji akan menyediakan kendaraan untuk transportasi jemaat beribadah. 3. DinasPendidikanAceh Singkiltidak dapat membantah adanya diskriminasi pendidikan agama bagi siswasiswi Kristiani di Aceh Singkil. Dinas menyampaikan bahwa kondisi tersebut terjadi karena format Raport dan Ijazah SD dicetak dan menjadi tanggungjawab Pemerintah Aceh, sebagaimana amanat Qanun No.11 tahun 2014. Karena itu, Dinas akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh untuk memperoleh solusi atas permasalahan tersebut. 4. Akan diselenggarakan dialog dan pertemuan kultural antar warga masyarakat di Aceh Singkil guna merekatkan kembali hubungan sosial. Pertemuan tersebut akan mengedepankan pendekatan budaya dan kekerabatan sebagai kearifan lokal Aceh Singkil. Dalam pertemuan pada 19 Mei 2016 tersebut telah diperoleh kejelasan mengenai interpretasi arti “dukungan masyarakat setempat” sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur No.25 tahun 2007 yang menjadi pedoman pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil. Dalam telaah hukum yang disampaikan Sekretariat Daerah Aceh pada 4 April 2016 dijelaskan bahwa: 1) Untuk mendirikan rumah ibadah harusmemenuhi minimal 150 orang pengguna rumah ibadah dan 120 orang dukungan dari masyarakat setempat (gampong atau nama lain) dimana didirikan rumah ibadah tersebut; 2) Dukungan masyarakat setempat tidak diperbolehkan lagi menjadi pendukung di tempat/gampong atau nama lain sebagai pendukung pendirian rumah ibadah; 3) Dukungan dapat diberikan oleh masyarakat setempat di tempat yang sama untuk mendirikan rumah ibadah agama lain. Dengan penjelasan tersebut, Komnas HAM menegaskan bahwa syarat dukungan masyarakat setempat tidak harus dari agama yang berbeda dengan pengguna rumah ibadah, sebagaimana selama ini dipahami FKUB Aceh Singkil. Guna memperkuat hasil pertemuan tersebut, pada tanggal 6 Juni 2016, Komnas HAM telah menyampaikan surat rekomendasi kepada Bupati Aceh Singkil. Surat tersebut antara lain berisi: (1) Memberi apresiasi kepada Pemkab Aceh Singkil atas langkah-langkah yang telah ditempuh guna menerbitkan 11 izin gereja yang telah memperoleh rekomendasi dari FKUB dan Kantor Kemenag. Komnas HAM berharap proses izin dapat selesai dalam jangka waktu 1 bulan sejak pertemuan konsultasi; dan (2) terkait pembongkaran tenda-tenda yang akan dilakukan Pemkab Aceh Singkil, Komnas HAM meminta Pemkab Aceh Singkil dapat membangun tempat ibadah di lokasi yang tidak terlalu jauh dari lokasi gereja yang ditertibkan. Namun hingga saat ini, Komnas HAM belum memperoleh informasi mengenai tindaklanjut rekomendasi tersebut, bahkan dalam kunjungan terakhir yang dilakukan Komnas HAM ke Aceh Singkil ditemukan adanya aturan baru di Provinsi Aceh berupa Qanun No.4 tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Dalam aturan ini terdapat beberapa ketentuan tambahan dalam prosedur pendirian rumah ibadah yang tidak diatur dalam PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, antara lain: (1) Rekomendasi tertulis Camat; (2) Rekomendasi tertulis dari Keuchik (Lurah) setelah bermusyawarah dengan tuha peut (3) Daftar nama pengguna tempat ibadah sebanyak 140 orang; (4) Dukungan masyarakat setempat minimal 110 orang; (5) Rekomendasi tertulis dariImuemMukim; (6)Susunanpanitia pembangunan dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Selain itu, Qanun ini juga menyatakan bahwa semua ketentuan tentang persyaratan pendirian tempat ibadah tidak berlaku untuk pendirian tempat ibadah umat Islam (Pasal 19).

META DATA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Bentuk Solusi
Tidak Diketahui
Status KBB
Mendukung KBB
Data
Tautan
https://www.komnasham.go.id/files/20170324-laporan-tahunan-kebebasan-beragama-%24IUKH.pdf
Komunitas Terdampak
Umat Kristen di Kabupaten Aceh Singkil